Pintu kamar menjeblak terbuka.
Terperanjat, Adimas menoleh. Buru-buru, ia menyelubungkan baju koko ke atas tubuh bagian atasnya yang telanjang. Mulutnya membuka, bermaksud menegur oknum dibalik pintu yang tidak mengetuk lebih dulu.
"Hey, Mas ku," Kirana nyengir lebar di ambang pintu. Sudah rapi dan memakai outfit kasual khas ngampus andalannya. Jeans dan kaus panjang dipadu ransel hitam. Bedanya, kini sebuah pashmina melekat di kepala. "Seger bener. Baru mandi?"
Mendengar panggilan itu, sudut bibir Adimas mencuat. Urung mengomel. Bisa dibilang, ini hari pertama mereka akhirnya sah menyandang status sebagai suami-isteri. Rasanya menyenangkan juga, ternyata. Sangat.
"Ulangin. Aku suka dengernya."
"Kalimat yang mana?" tanya Kirana, memasang tampang innocent. "Seger bener. Baru mandi?"
Adimas tertawa lepas.
Kirana tercenung dibuatnya. Memperhatikan Adimas yang duduk di atas ranjang dengan rambut basah belum di sisir. Tangannya bergerak mengancingkan baju yang dipakainya.
"Ngapain berdiri di situ? Sini."Adimas mendongak dan melambaikan tangan. Lalu, ditepuknya kasur beberapa kali, mengajak Kirana duduk di sebelahnya. Sorot matanya penuh makna.
Kebingungan, Kirana menggaruk pipinya, pelan. Padahal, ia tadi sengaja mengubah caranya memanggil Adimas untuk menggodanya. Tetapi, entah kenapa jadi ia yang merasa sedang digoda.
"Mm, Dim, bisa anter aku ke kampus, nggak?"
Mendengar suara Kirana yang ragu-ragu, Adimas terdiam sejenak. Seharusnya, hari ini mereka diam di rumah dan membantu orangtua menyambut para tamu pengajian. Tetapi, ia tahu kalau acara Kirana juga sangat penting di mata gadis itu. Maka, tanpa banyak pertanyaan, Adimas bangkit dan menyambar hoodie di kastok lalu dipakainya. Kemudian, ia meraup kunci motor di atas meja belajar.
Semenjak resmi menjadi seorang suami, Kirana adalah prioritasnya sekarang. Selain bunda, tentunya.
"Ayo," ajaknya, mendahului Kirana. "Ngomong-ngomong, kamu tambah cantik pake hijab," tambahnya, mengerling ke arah Kirana di belakangnya sambil mengurai senyum.
Kirana mengernyit. Tak tahan lagi, ia menyeletuk. "Dim, kamu yakin nggak salah makan obat sebelum kita nikah? Kok drastis banget perbedaannya?"
"Beda gimana?"
"Makin centil!"
Adimas langsung terbahak-bahak sambil menuruni tangga. "Masa?"
"Bun, kita mau keluar dulu, bentar, " Adimas pamit dan menciumi tangan bunda di pelataran yang sedang mengecek menu untuk ramah-tamah, diikuti Kirana.
"Loh, loh, loh, pada mau kemana. Pengantinnya kok malah kabur, " tanya bunda, heran.
"Sejam, dua jam aja, Bun. Nanti kita cepet balik lagi," jawab Kirana, mengambil kanvas yang sudah dibungkus sedemikian rupa di dekat pintu ruang tamu Adimas, menggunakan kanvas kosong lain yang berukuran serupa.
Malam sebelum ia menikah, Kirana telah meletakkan kedua kanvas berspantram dalam posisi yang berhadap-hadapan. Satu adalah lukisan hasil karyanya, satunya lagi kanvas kosong. Kedua kanvas itu dibuat renggang agar tidak menempel satu sama lain. Bagian sisi-sisinya diberi tripleks atau kayu tipis, kemudian dipaku dengan paku kecil.
Fungsinya, selain melindungi lukisan supaya tidak kotor dan rusak karena tersenggol, misalnya. Lukisan ini tidak akan terlihat oleh orang lain.
"Oh, ya udah, hati-hati." Bunda berpesan, sementara Adimas ke garasi untuk mengambil motornya.
Sepertinya, Adimas telah bertekad membuat kening Kirana berkerut seharian.
"Ki, mana tangan kamu? " pinta Adimas menjulurkan tangan dari atas motornya sebelum mereka memulai perjalanan. Tak memedulikan pandangan bunda dan para kerabat di sekeliling yang menatap mereka, penasaran. Karuan, Kirana balik bertanya. "Mau ngapain?"