Perpisahan di bandara jauh dari kata mengharukan.
Malu-maluin, malah. Kirana meringis lantaran papinya menangis menggerung-gerung di bahunya. Padahal, pengumuman sudah mewartakan pesawat akan segera lepas landas. Kalau bukan karena usaha mami yang menyeret lengan suaminya pergi, bisa-bisa mereka bakal ketinggalan pesawat.
"Papi, hayu! Tiketnya mahal. Kalo batal, rugi, entar!" kata mami, panik.
"Kikiiii, papi akan segera ke Bandung lagi! Tunggu Papiiii, Ki!" teriak papi di ambang pintu boarding, kontan menyulut atensi di sekelilingnya.
Duh, sumpah! Kirana rasanya ingin mengubur kepalanya dalam-dalam di tanah. Ujung kain hijabnya sengaja ia naikkan hingga menutupi sebagian wajah, layaknya masker.
Kirana benar-benar merasa lelah. Efek semalaman kalut karena chat dari Bobby masih terasa. Kirana yang masih kebingungan harus merespon bagaimana, memilih mengabaikannya. Seolah belum cukup drama yang ia terima pagi itu, Adimas ternyata menyambangi bandara menggunakan mobil pick up khusus pindahan yang ia sewa. Biar sekalian langsung meluncur ke ruko, katanya.
"Assalamualaikum!"
Kirana masuk ke dalam rumah toko, diikuti Adimas dan Bunda, kemudian supir mobil pick up.
"Barang-barangnya punten taruh di sini aja, Pak," Dimas menyempatkan berbicara pada pak supir pick up sewaan. "Sebentar lagi temen-temen saya bakal bantuin."
"Waalaikumsalam...mangga, masuk," Medi dan Yasser saling melirik. Merasa sedikit gugup karena kedatangan tamu. Terlebih, tamunya itu akan menjadi 'anggota' keluarga baru mereka kedepannya.
Kirana mengedarkan pandangan ke kanan dan kirinya. Takjub. Suasana ruko berubah drastis. Tak lagi semenyeramkan ingatannya. Tembok bagian luar bangunan sudah di pelester dan di cat ulang. Terdapat spanduk besar di bagian atas pintu masuk bertuliskan "Sagala Aya Store". Beberapa rak besar ditempatkan di dinding. Sudah terdapat produk-produk jualan ditata persis ala minimarket.
Terkagum-kagum, Kirana mengamati semuanya dengan hati senang. Perhatiannya lalu tertuju ke arah tangga. Barulah kali ini alisnya mengernyit.
"Perasaan, waktu kemaren aku ke sini, belum ada pintunya, deh," katanya, mengingat-ingat.
Medi dan Yasser diam-diam saling sikut sambil mencebik. Agak tersinggung, sebenarnya. Memangnya mereka berdua penyamun, sampai Kirana perlu double protection segala.
Jangankan Kirana. Medi dan Yasser saja kaget bukan main.
Ternyata ucapan Adimas serius. Pagi tadi di ruko, seorang tukang telah dipanggil untuk memasang pintu tambahan di bagian ujung tangga di lantai dua, lengkap dengan kunci selot di bagian dalam. Tak hanya itu, seluruh jendela lantai atas sudah dipasangi teralis. Entahlah, takut Medi dan Yasser nekat memanjat masuk apa bagaimana.
Kebingungan, Kirana melirik Medi dan Yasser sekilas. Keduanya kompakan mengangkat bahu tanda tak mengerti.
"Dim, kamu berniat menjarain aku?" Kirana berpaling pada Adimas yang sedari tadi mengamati reaksinya dari belakang.
Mendengarnya, bunda seketika tergelak-gelak. "Bukan gitu, Ki. Dimas kayaknya cuma pingin jagain kamu, tapi caranya terlalu lebay!" Diusapnya kepala si bungsu pelan, sebelum menaiki tangga lebih dulu, ingin mengecek situasi di lantai atas.
"Utututu, segitu care nya kamu sama aku," Kirana menggelitiki dagu Adimas.
"Apaan, sih, Ki." Adimas menghindar kemudian balas mengusap wajah Kirana dalam satu sapuan cepat.
"Coba lihat kamar kita," Adimas memandu Kirana menaiki tangga. "Kalau nggak cocok sama selera kamu, biar kita dekor lagi."
"Aku percaya. Kamar kamu aja selalu lebih rapih dari aku," jawab Kirana sambil mengekor di belakang suaminya.