Word count: nol. Deadline: seminggu lagi. Cynara menatap layar laptop seperti menatap lubang hitam. Kosong. Writer’s block memang selalu datang di saat yang paling brengsek. Sama seperti hidupnya malam itu.
“Mereka saling berpandangan.”
Bagus. Romantis banget. Jenius sekali, Cynara Elodie. Kalau kalimat itu dikirim ke Shinta, sang editor itu akan langsung balas, “Cy, ini naskah novel apa naskah pidato OSIS?”
Jemarinya mengetik asal.
Mereka saling berpandangan… lalu sama-sama sadar kalau hidup hanyalah penderitaan panjang.
Cynara menghela napas. Cerita yang harus dibuatnya kali ini sangat berbeda dari biasanya. Hal ini disebabkan dari penjualan novel terakhir Cynara yang tidak terlalu menghasilkan. Tema percintaan remaja adalah tema andalannya. Tapi belakangan ini, banyak pembaca yang menyukai masalah percintaan orang dewasa. Cynara bukan tidak mau membuat cerita seperti itu. Hanya saja pengalam percintaan Cynara mentok di masa remaja. Diusia yang sudah sangat dewasa ini saja, dirinya belum merasakan kembali yang namanya jatuh cinta. Yang dilihatnya hanya kepahitan hubungan orang dewasa.
Laptopnya ditutup separuh, bukan karena naskah itu selesai, tapi karena suara teriakan di ruang tamu makin memanas. Lagi-lagi. Cynara menjatuhkan kepala ke meja dan memejamkan mata. Membayangkan kejadian yang ada di luar. Kejadian yang sudah berkali-kali dilihatnya.
“Kenapa sih kamu nggak pernah ngerti aku?!” suara Mamanya, tajam.
“Kamu yang nggak pernah mikirin saya yang capek kerja!” balas Ayahnya, lebih keras.
Cynara meraih earphone di meja, menekannya dalam-dalam ke telinga, memutar playlist lagu random. Bahkan suara Jeongwoo yang merdu tetap kalah sama teriakan orang tuanya. Kenyataannya, Cynara tidak bisa mendapatkan bagaimana hubungan percintaan orang dewasa dengan fakta situasi yang dilihatnya setiap hari. Salah satu sahabatnya pun memiliki riwayat gagal dalam rumah tangga dan perselingkuhan. Jadi, bagaimana hal manis yang diharapkan pembaca bisa ditulis?
Dikehidupan yang sudah berumur 27 tahun, Cynara hidup masih seperti anak SMA yang harus mendengar drama orang tuanya tiap malam. Kadang dia merasa, lebih baik tidur di kantor ketimbang di rumah ini. Sayang, dia nggak punya kantor. Pekerjaannya freelance, tulis sana-sini, naskah film indie yang bayarannya kadang nggak lebih banyak dari uang parkir mall. Dan umurnya sekarang, pertanyaan berulang itu harus terus didengarnya.
“Na!” suara Mamanya menggelegar, menembus earphone.
Cynara menghela nafas panjang. Dia membuka pintu kamar. “Apa lagi, Ma?”
Mamanya berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh ekspresi theater level 5. “Mama ini malu sama tetangga, tau nggak? Anak-anaknya Bu Rani saja, sudah semua nikah. Tinggal kamu aja, Cy!”
Dalam hati Cynara ingin bilang, “Ma, selagi negara ini tidak memberikan hukuman kepada mereka yang terlalu lama menjomblo dan tidak juga menikah. Nggak ada yang perlu dimaluin.” Tapi dia memilih menatap ibunya datar.