Just Only Married

Melita Nurhasanah
Chapter #2

Bab 2 - Penyusunan Rencana

Sambil memutar setir untuk berbelok memutar. Keila sempat melirik Cynara yang tampak dalam keadaan mood yang tidak bagus. Keila membunyikan klakson singkat sebagai  tanda, lalu menepikan mobil di depan kantor penerbit yang berada di daerah Palmerah. Cynara membuka pintu mobil bagian depan penumpang. Sabuk pengaman ditariknya paksa. Sebuah hembusan nafas panjang begitu terasa sebelum Keila kembali menginjak pedal gas. Gas terinjak kencang bukan dari mobil, tapi dari keluhan meluncur seperti kereta tanpa rem dari mulut Cynara.

“Novelku stuck lagi. Konsepnya nggak jelas. Mereka lagi mau cerita romance dewasa. Sedangkan percintaan yang gue lihat semuanya kusut. Nggak ada yang bisa dijadikan inspirasi.” Kepalanya disandarkan,

Keila melirik sekilas, lalu fokus lagi ke jalan. “Hmm.” Hanya satu kata, tapi itu sudah cukup. Keila memang seperti sofa empuk, tempat paling nyaman buat menopang keluh kesah Cynara tanpa banyak komentar. Keila hanya akan memberikan komentar setelah Cynara berhenti berbicara.

“Bagaimana kalau lo coba ngobrol lagi sama Jehan. Kali aja… lo dapet kerjaan jadi penulis naskah mungkin. Kan dia pernah nawarin lo,” cara bicara Keila terasa hati-hati. 

Cynara mengendus, “Gue dari awal sudah mutusin hubungan sama dia. Dalam segala bentuk.” Dia merubah posisi duduk, “Eh by the way, kemarin gue ketemu laki-laki super aneh. Untung gue nggak kegeeran.Tampangnya dan penampilannya tuh, ganteng banget! Gue pikir dia ngajak kenalan karena mau beneran  kenalan. Ternyata mau promosiin restoran dia. Terus gue ditinggal pergi. Nyebelin kan?” Kembali menghela nafas lagi dengan memperhatikan pemandangan diluar jendela.

“Restorannya apa, namanya?” tanya Keila santai.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                         

Cynara mengerjap, mencoba mengingat. “De… apa ya? De Romeo?”

Keila mendadak mengerem pelan, matanya membesar. “Serius, De Romeo?”

“Iya, kayaknya. Kenapa?” Alis Cynara beradu.

Keila langsung berseri-seri. “Ra, itu kan restoran yang Tasya pilih buat ketemuan sekarang! Wah, gila, kebetulan banget!” Cynara mendengus, merasa firasatnya jelek. Tapi Keila sudah terlalu semangat untuk dihentikan.

Obrolan mereka terhenti saat mobil tiba di depan restoran De Romeo. Restoran De Romeo tampak elegan dengan pencahayaan hangat dan dekorasi kayu. Keila masuk duluan dengan langkah penuh semangat, seperti wartawan gosip yang baru dapat kabar eksklusif. Cynara mengikuti dari belakang, sedikit menunduk.

Andai saja dirinya lebih teliti dan tidak manut saja ke Tasya. Takdir yang tidak seharusnya terjadi seperti ini tidak perlu dihadapinya.

“Cy, jalan yang bener. Jangan ngumpet-ngumpet gini,” desak Keila.

Di meja pojok, dekat jendela. Laras sudah melambaikan tangan. Ramai seperti biasanya. Tasya duduk disampingnya, wajahnya berbinar penuh rencana. Dan tepat di samping Tasya… ada seorang pria yang membuat Cynara otomatis ingin putar balik.

Bian.

Si pria aneh yang kemarin sibuk mempromosikan restoran sambil sok misterius. Kenapa semesta kayaknya hobi banget nge-prank gue?

Putar balik, jangan? Tapi sudah terlambat.

“Hey,” sapa Bian dengan senyum tipis. “Kamu benar-benar datang.”

Cynara menelan ludah. “Kebetulan. Saya nggak tahu kalau ini restoran… kamu.”

Kalimat terakhir terdengar lebih seperti gumaman.

Bian hanya mengangguk, seolah memahami ketidaknyamanan Cynara. “Kalau gitu, aku tinggal. Selamat menikmati makannya,” katanya singkat sebelum kembali berbicara dengan staf.

Begitu Bian pergi, Tasya menatap Cynara dengan ekspresi penuh tanda tanya.

Lihat selengkapnya