Malam semakin larut ketika Cynara dan Bian melajukan mobil menuju rumah Cynara. Lampu-lampu jalan memantul di kaca depan. Cynara menatap jalan dengan gelisah, tangan memainkan resleting tasnya. Sementara Bian duduk tenang di sampingnya. Mobil telah masuk ke pekarangan komplek perumahan. Bian menepikan mobil sebelum benar-benar tiba didepan rumah Cynara.
“Kita harus nyamain cerita, Bi. Kalau ditanya orang tua aku, jawabannya harus sama,” ujar Cynara, suaranya tegas tapi agak bergetar.
Bian mengangguk tenang, tangan santai di setir. “Oke, jadi… kita pacaran karena dikenalin Dani, pacarnya Tasya. Betul?”
“Betul. Dan alasan aku nggak pernah cerita karena…” Cynara menoleh cepat ke arahnya.
“Karena kamu belum siap jadi sorotan publik,” sambung Bian, seolah sudah hafal. “Apalagi pacar selebgram pasti ribet.”
Cynara menghela nafas lega. “Yes, itu. Jadi jangan sampai salah ngomong.”
Bian hanya tertawa kecil. “Berasa lagi briefing sebelum wawancara.”
“Emang!” balas Cynara, menepuk dahinya. “Ini taruhan besar, Bi. Kalau gagal, aku nggak tau lagi akan dihadapi sama jodoh kayak apa yang mama siapin buat aku.”
Sebenarnya yang lebih tepat. Ini sebuah taruhan besar untuk Cynara yang tidak biasa berbohong atau bersandiwara. Dia terbiasa untuk mengatakannya terus terang. Orang tuanya pasti akan mengendus sikap anehnya nanti. Itu yang dikhawatirkannya.
*****
Bian berhasil memarkirkan mobilnya tepat didepan rumah Cynara. Mereka menarik nafas berdua dan tampak saling menyemangati. Mereka akan berperang bersama. Keluar dari Mobil, Cynara bisa melihat Mama nya berdiri sambil melipat kedua tangan di pinggir pintu. Wajahnya terlihat kesal tanpa kata-kata. Saat Bian turun dan menggandeng Cynara. Wajah Mama Cynara berubah. Tangan yang melipat itu pun diturunkannya. Cynara hanya tersenyum dan menggaruk-garuk kikuk. Sedangkan Bian tampak lebih santai. Menyalami tangan Mama Cynara.
“Kamu pulang jam segini, Cycy?!” tegurnya ketus.
Cynara meringis, tapi sebelum sempat menjawab, Bian maju selangkah. “Maaf, Tante. Saya yang salah. Cynara menemani saya, karena ada acara pembukaan restoran.”
Nada suara Bian sopan dan penuh hormat. Ekspresi Mama langsung berubah drastis, seolah senyum terselip tanpa bisa ditahan. Ayah Cynara yang duduk membaca koran pun mendongak, menatap lekat.
“Restoran?” Ayah mengulang. “Anak muda, siapa namamu?”
“Bian, Om. Saya baru membuka restoran berkonsep Italia di Senopati,” jawabnya mantap.
“Bisa kali ajak masuk dulu.” Ucap Cynara melirik kearah Ayah dan Mamanya.
Mereka pindah ke ruang tamu. Bian duduk disebelah Cynara, senyum ramah tak lepas dari wajahnya. Dan dihadapan mereka orang tua Cynara siap menghujani pertanyaan. Percakapan pun mulai bergulir. Ayah terus bertanya soal latar belakang, pendidikan, keluarga, bahkan bisnis Bian. Cynara mulai gelisah, takut orang tuanya terdengar terlalu materialistis. Tapi Bian menjawab dengan sabar dan tenang, seolah pertanyaan itu memang sudah ia antisipasi.
Tiba-tiba, Mama dengan menatap tajam nyeletuk, “Kalau begitu… kapan Bian siap menikahi Cycy?”
Cynara hampir tersedak ludahnya sendiri. Matanya melebar, hendak protes, tapi Bian lebih dulu menjawab.
“Bukan saya tidak ingin menikahi Cycy,” ucapnya lembut. “Saya hanya menunggu sampai dia benar-benar siap. Saya pikir, masih ada ketakutan yang dia simpan. Dan tugas saya sekarang adalah membuat dia percaya pada saya.”
Ruang tamu hening. Cynara menatap Bian dengan campuran kaget, kagum, dan… rasa hangat yang belum pernah ia rasakan. Jantungnya berdetak cepat. Untung ia segera sadar, buru-buru mengalihkan pandangan sebelum Mama menyadari pipinya yang merona.
Setelah melewati pertanyan yang sangat krusial itu. Bian pamit pulang karena hari yang semakin larut. Suasana antara Cynara dan Bian menjadi terasa berbeda. Disatu sisi mereka merasa lega karena sudah melewati pertanyaan sulit. Disatu sisi mereka harus memperjelas hubungan kerjasama mereka. Hanya saja waktunya belum pas jika dilakukan sekarang.