Sudah satu bulan sejak Cynara memutuskan hubungan dengan Bian. Hidupnya kembali diisi dengan hal-hal yang lebih masuk akal: pembedahan naskah, diskusi karakter, dan rapat bersama tim kreatif rumah produksi yang akan mengadaptasi novelnya. Orang tua Cynara tidak menaruh curiga masalah hubungan anaknya dengan Bian, yang sebenarnya sudah berakhir. Jika ditanya, Cynara hanya mengatakan kalau Bian sedang sibuk. Dan mereka tidak memiliki waktu untuk bertemu.
Entah akan sampai berapa lama, merahasiakan hubungan dengan Bian yang telah usai. Jujur saja, sesekali aku melihat sosial media milik Bian. Nampaknya tidak ada pengaruh apapun hubungan kami yang sudah berakhir.
Di jam makan siang, ketika ia sedang fokus mengutak-atik skenario, salah satu tim kreatif menyodorkan sandwich sambil berseloroh,
“Jujur ya, Cy. Kalau bukan gara-gara kehebohan hubungan kamu sama Bian, mungkin novel kamu nggak akan sampai ke kita.”
Cynara terdiam, tangan yang tadi memegang pulpen refleks berhenti. Seperti disambar petir. Satu kalimat ringan itu berhasil menggedor egonya.
“Oh… gitu ya?” jawabnya datar, mencoba terdengar biasa saja.
Tim kreatif itu hanya mengangguk sambil menyeruput kopi. “Publik itu aneh. Mereka suka cerita yang ada bumbunya. Dan kamu lagi jadi bumbu itu.”
Sepulang dari kantor, di taksi, Cynara menatap jendela yang memantulkan wajahnya sendiri. Cincin itu sudah dia simpan di laci. Bian pun tak pernah lagi menelepon sejak dia memutuskan semuanya.
Seharusnya gue terima kasih, ya? gumamnya pelan. Tapi buat apa, kalau dia sendiri udah milih diam?
*****
Di sebuah lounge bar di kawasan Senopati, Bian duduk bersama Dani dan dua teman influencer lainnya. Musik jazz mengalun, asap rokok tipis memenuhi udara.
“Dia beneran nggak mau lanjut?” tanya Dani, tangannya asyik mengupas kacang.
Bian mengangguk malas. “Udah sebulan, gue nggak berani hubungin dia.”
Dani nyengir. “Kan gue udah bilang, ide tiba-tiba ngelamar gitu bukan ide yang bagus. Padahal dia udah terima lo yang… rada aneh.”
Bian melirik tajam. “Aneh apaan?”
Teman mereka menyahut sambil tertawa. “Aneh gimana, Dan? Jelasin dong.”
Dani santai, seolah nggak sadar sedang menggali lubang sendiri. “Dulu gue cuma bilang ke Tasya, ‘Bian tuh beda, jarang banget keliatan deket sama cewek.’ Eh, dia kayaknya nangkepnya lo itu…”
“Gay?” potong Bian dingin.
Dani mengangkat tangan, defensif. “Gue nggak bilang gitu! Dia aja yang langsung mikir kesana.” Meneguk minuman, “Tasya cerita ke Cynara yang kebetulan lagi diburu-buru nikah dan lo juga mau sama Cynara. Ya, jadi selama ini Cynara terima lo. Karena Taunya lo gay.”