Justin & Misteri Puding Merah (bagian 1)

Arzen Rui
Chapter #2

DUA

Pria itu mengenakan kaus putih yang dilapisi jaket kulit berwarna coklat, dengan celana panjang berbahan kain berwarna hitam. Menggunakan sepatu olahraga berwarna putih dengan corak garis-garis hitam. Tentu saja dia bukanlah orang yang paham betul dengan fesyen jika melihat apa yang dikenakannya. Kerutan di pinggir matanya tampak sangat jelas saat terkena sinar matahari, rambutnya hitam bercampur dengan putih, lutut celananya bersih dan tidak nampak kotor. Berbeda dengan siku jaketnya, di siku jaketnya bagian kiri ada bekas tumpahan air yang lumayan banyak. Aku rasa itu bukan sebuah kesengajaan.

Ekspresi wajahnya sangat serius. Beberapa kali mengusap dahi setelah menghisap rokoknya. Di sekitar kakinya terdapat lebih dari tiga puntung rokok bertebaran. Dia jelas sekali sedang menghadapi kegelisahan yang mendalam. Fasilitas umum di dekat pria itu hanya ada sebuah kafe saja. Berjarak sepuluh meter dari tempat pria paruh baya itu berdiri. Kesimpulan yang bisa kubuat hanya; pria paruh baya itu sedang kebingungan karena sebuah pilihan. Pilihan yang baru kali ini dia harus hadapi. Hanya itu saja yang bisa aku simpulkan, aku hanya melihat sekilas saat berangkat ke sekolah tadi pagi. Saat pulang aku sudah tidak melihat pria paruh baya itu lagi di tempat tadi pagi aku melihatnya, itu tandanya dia sudah mendapat solusi. Mungkin, mungkin juga dia saat ini sedang mabuk-mabukkan entah di mana.

Ada juga seorang perempuan muda yang tadi kutemui sepulang sekolah. Memakai kemeja putih lengan panjang, celana jin berwarna biru gelap, dan sepatu kasual berwarna putih. Aku bisa melihatnya cukup lama karena kutemui perempuan itu di dekat rumahku, berdiri di dekat tiang lampu sambil melirik jam tangannya terus. Membawa tas bahu warna merah. Ekspresinya tidak menunjukkan kegelisahan seperti pria paruh baya yang tadi pagi kulihat. Wajahnya santai, tidak tegang. Kulitnya putih dan terawat. Tidak ada bekas apapun di siku kemejanya, begitu juga dengan lutut celananya. Rambutnya hitam legam, terurai sampai punggung. Telapak dan punggung tangannya juga tidak ada bekas apapun, bersih. Pinggiran sepatunya juga bersih tidak ada noda. Saat aku sudah membelakanginya, perempuan itu terlihat sedang mengecek ponselnya.

Dia adalah seorang mahasiswi, jurusan hukum. Setelah melewatinya, aku baru melihat ada sebuah buku yang mengintip dari tas bahunya, ada kata hukum yang cukup besar untuk kubaca dari jauh. Tapi itu masih belum menjadi bukti kuat dia seorang mahasiswi jurusan hukum. Sedang menunggu seseorang, sebuah jemputan, saudaranya. Wajahnya tidak terlihat kesal walau malam hari sudah tiba, jelas dia bukan anak manja yang harus selalu minta jemput ayahnya. Sikapnya tenang, kebanyakan orang yang selalu dijemput selalu kesal saat mereka telat dijemput. Memang ekspresi wajahnya tidak menentukan apakah dia anak manja atau tidak, aku hanya mengambil contoh dari murid-murid lainnya yang selalu dijemput di sekolah. Wajah mereka tampak kesal walau hari masih terang dan mereka telat dijemput hanya setengah jam-an saja.

Lihat selengkapnya