1942 M.
"Kar. Kardiyah!"
Aku mendengar seruan itu. Buru-buru aku meletakkan pakaian yang baru kering dari jemuran ke dalam jolang bersih. Aku angkat sedikit jaritku, agar bisa sedikit berjalan cepat, walaupun tidak berlari. Aku selalu ingat pesan ibu, wanita jawa harus anggun, tidak boleh berlari terburu-buru.
"Njih, Mevrouw."
Wanita berambut pirang bergelombang itu melihatku datang. Mevrouw van Dijk terlihat anggun dengan gaun panjangnya yang berwarna kuning cerah. Ia duduk di halaman depan sambil menyesap teh panasnya.
"Kardiyah. Tolong kamu panaskan air untuk mandi. Sebentar lagi meneer akan pulang."
"Njih, Mevrouw."
Aku sudah bekerja untuk keluarga van Dijk sejak dua tahun lalu, ketika aku baru saja menginjak usia tiga belas tahun. Aku menggantikan tugas ibuku yang kini mulai sering sakit. Ibu sudah setia bekerja sebagai pelayan keluarga van Dijk selama dua generasi. Jangan tanya padaku bagaimana tulisan van Dijk yang benar. Membaca saja aku tidak bisa.
Aku mengamati api yang mulai membesar dari kayu bakar. Air di atas tungku juga sepertinya sebentar lagi siap untuk mandi. Ini sudah menjadi tugasku sehari-hari melayani mereka. Mencuci pakaian, mensetrika baju, menyiapkan air untuk mandi, membersihkan rumah. Untuk urusan memasak, Mevrouw van Dijk yang langsung turun tangan ke dapur. Nyonya besar itu selalu menyiapkan sendiri masakan untuk suami dan anaknya. Tidak apa, toh selera mereka berbeda dengan kaum inlander sepertiku. Kalau mereka merasa kenyang hanya dengan makan roti atau kentang rebus, sementara aku harus makan nasi baru terasa kenyang.
Putri keluarga van Dijk diberi nama Anneke. Gadis itu dua tahun lebih muda dariku. Walau begitu, ia tidak terlalu merepotkan. Sehari-hari Anneke pergi ke Hoogere Burgerschool, sekolah untuk para bangsawan. Orang sepertiku tidak bisa sekolah. Untuk bisa makan saja sudah harus bersyukur.
Aku dapat mendengar suara mobil datang memasuki pekarangan rumah. Pas sekali, air mandi sudah siap. Kumatikan api dari kayu bakar itu. Kini aku hanya perlu memindahkan air panas ini dari dapur ke bak di kamar mandi, supaya airnya jadi lebih hangat.
"Ya Tuhan! Apa yang terjadi padamu?"
Aku mendengar suara teriakan Mevrouw yang sangat nyaring dari halaman depan. Aku urungkan niatku untuk memindah air dan memilih untuk mendatangi suara nyaring itu. Aku intip dari dalam, penampilan Meneer van Dijk terlihat luar biasa kotor. Kulitnya yang putih tertutup menjadi warna kelabu. Rambut pirangnya juga menjadi gelap. Setelannya yang berwarna cokelat juga turut menjadi kelabu.
"Celina. Siapkan air mandi untukku."
Mendengar suara berat Meneer memanggil nama istrinya untuk menyiapkan air, aku langsung masuk lagi ke dapur dan hendak memindahkan air untuk mandi. Jangan sampai Mevrouw memergokiku menguping dan mengabaikan tugas.
"Kardiyah? Air sudah siap?" tanya Mevrouw. Wanita itu tiba-tiba ada di belakangku. Untung air panas yang aku bawa tidak tumpah. Nada bicara Mevrouw padaku terdengar tenang, seolah tidak terjadi apa-apa. Berbeda dengan apa yang terjadi beberapa waktu lalu.
"Tinggal dituang ke bak mandi, Mevrouw."
"Setelah itu, siapkan makan malam." Mevrouw van Dijk memberiku isyarat dengan kepala untuk segera pergi dari pandangannya.
Aku mengangguk dan segera menuang air di kamar mandi. Setelahnya, aku langsung pergi ke belakang. Sudah saatnya aku menyiapkan piring-piring untuk makan malam mereka. Piring porselen berwarna putih dengan gambar-gambar indah berwarna biru berikut dengan sendok garpu perak, aku letakkan di meja makan. Aku mengelapnya satu per satu sebelum kutata di atas meja.
"Kardiyah."
Aku menoleh dan mendapati Anneke berdiri di belakangku sambil membawa buku pelajarannya. Gaun putih selutut dengan banyak renda di bagian dada yang ia pakai terlihat bagus di tubuhnya. Anneke memang lebih muda dariku. Namun, karena keturunan londo totok, tubuhnya sama besar denganku. Bahkan rasanya, sedikit lebih tinggi dariku.
"Kamu lihat penampilan Papa tadi saat pulang?" bisiknya sambil duduk di salah satu kursi makan.
Aku menganggukkan kepala. "Lihat."
"Aku rasa kami tidak lama lagi akan pergi dari sini. Aku tidak sengaja mencuri dengar percakapan Mama dan Papa tempo hari."
Ucapan Anneke membuat pergerakanku saat mengelap piring berhenti sejenak. Aku tatap dua mata Anneke yang berwarna biru cantik itu.
"Kamu dengar itu di berita? Penguasa bertubuh pendek dan bermata sipit datang dan menguasai Borneo. Tentara-tentara kami banyak yang menjadi korban. Sebagian yang masih hidup dimasukkan ke kamp penampungan," jelas Anneke. "Aku dengar Papa akan membawa kami semua kembali ke negara asal Opa."
"Lalu apa yang akan terjadi padaku?"
Anneke tertawa kecil. "Tidak mungkin kamu ikut dengan kami. Lagi pula, penguasa bermata sipit itu mengaku sebagai saudara tua Asia dan akan membuat Indonesia merdeka. Bukankah kamu justru harus senang mendengar itu? Tidak akan ada lagi perbudakan. Semua merdeka, semua bisa sekolah."
Mendengar kalimat semua bisa sekolah membuatku sedikit terhibur. Aku juga ingin sekolah, aku juga ingin bisa membaca, menulis, dan berhitung. Aku ingin seperti Anneke, yang memiliki banyak teman di sekolah. Aku tidak ingin hanya sekadar bisa pekerjaan rumah.
"Bagus untukmu, Kardiyah. Mungkin sebentar lagi kamu bisa setara dengan kami."
Aku tersenyum pada Anneke dan menganggukkan kepala. Meskipun aku tidak tahu, kalimat dari Anneke itu tulus atau tidak. Karena dengan adanya penguasa bermata sipit itu yang datang, artinya londo totok seperti dia harus pergi dari sini.
Suasana makan malam di rumah itu terasa berbeda dari malam-malam sebelumnya, biasanya dipenuhi tawa. Entah itu Anneke yang bercerita tentang sekolahnya atau Meneer van Dijk yang bercerita tentang kehidupan di kantornya. Namun sekarang hanya terdengar suara dentingan sendok dan piring yang bertemu.
Aku bergerak pelan saat mengantar hidangan penutup sambil membereskan piring kotor bekas makan utama mereka. Sengaja ingin sambil mencuri dengar. Aku tidak punya kesempatan mendengar banyak berita karena sehari-hari aku hanya ada di rumah ini. Sementara sayur dan bahan pangan selalu ada orang suruhan mevrouw yang mengirim dari pasar.
"Aku sudah menyuruh orang membeli tiket kapal untuk kita pergi dari sini," ujar Meneer van Dijk.
Mevrouw melebarkan dua matanya yang berwarna biru itu. Terlihat terkejut dengan ucapan suaminya. "Kapan keberangkatannya?"
"Kemungkinan lusa. Lebih cepat lebih baik."
Mevrouw terlihat tidak senang. Wanita itu berdecak dan sedikit membanting sendok kecilnya ke atas piring. "Aku belum berkemas."
"Bawa saja sebagian barang yang ingin kalian bawa. Tidak perlu semuanya. Kita akan mati jika semakin lama berada di sini," sambung Meneer. "Kamu tahu? Kantorku tadi sudah diserang tentara pendek itu hanya karena masih memasang potret Ratu Wilhelmina. Aku rasa ada mata-mata di antara kami, karena lukisan itu terletak jauh di dalam gedung. Beruntung Parkimin cepat tanggap dan membantuku pergi lewat pintu belakang. Meskipun tembok-tembok yang hancur karena ditembaki itu tetap mengotori tubuhku."
Aku pernah mendengar dari ibu, bahwa Meneer van Dijk bekerja di dekat pelabuhan. Tugasnya mengurus hasil tani di wilayah Jawa bagian timur, mengumpulkan hasil pertanian yang nantinya akan dikirim ke Eropa. Sepertinya jabatan pria berambut pirang itu cukup tinggi di sana, sampai ia mampu mempunyai rumah besar dan juga membeli mobil. Aku tidak terlalu paham tentang jabatan di perkantoran. Sedangkan Parkimin adalah salah satu pegawainya di sana. Aku beberapa kali pernah bertemu dengan pria berkulit gelap itu saat ia mengantar Meneer sepulang dari pesta dalam keadaan mabuk.
"Aku juga dengar dari kawanku, kalau mereka akan bergerak ke Kalijati dan mengancam akan membawa ribuan pasukan ke Bandung. Saudaranya dari Priangan yang memberi tahu," imbuh Anneke.
Meneer menganggukkan kepala. "Kelihatannya orang kita juga akan menyerah. Apa kamu masih tidak takut dengan pengeboman bulan lalu?"