Juuni

Andin FN
Chapter #2

Rumah Bordil

Seumur hidup aku tidak pernah naik mobil. Setiap Meneer van Dijk berangkat bekerja naik kendaraan beroda empat itu, aku selalu membayangkan bagaimana rasanya berada di dalam kendaraan mewah itu. Namun, aku tidak pernah membayangkan akan naik kendaraan itu dalam kondisi seperti ini. Tangan terikat ke belakang dengan kepala yang terbungkus karung goni yang samar-samar tercium bau bawang merah. Untung bukan bekas pupuk kandang, bisa muntah aku.

Aku bisa mendengar dengan jelas ada tiga suara berbeda yang bercakap-cakap dalam mobil. Bahasa asing yang aku yakini bahasa Nippon. Bahasa yang sama sekali aku tidak tahu artinya. Kukira tadi mereka membantuku, ternyata aku justru diculik. Entah akan dibawa ke mana. Kukira senyuman ramah itu tulus, tetapi ternyata senyuman itu palsu.

Jujur, aku tidak mengerti. Diriku ini tidak ada harganya. Aku miskin, bukan anak saudagar kaya raya. Bahkan Bapak mengandalkan kebun pisang yang luasnya hanya sepetak itu untuk hidup. Ibuku sakit-sakitan. Adikku Sriyati, yang masih sembilan tahun, terpaksa menggantikan tugas ibu untuk mengurus pekerjaan rumah. Jadi, kenapa mereka menculikku? Aku tidak bernilai. Aku tidak berharga.

Mobil yang kami tumpangi itu akhirnya berhenti. Tubuhku kembali diangkut. Aku bisa mendengar suara decitan pintu, yang engselnya seperti sudah lama tidak dilumasi. Begitu masuk ruangan itu, aku bisa mencium aroma aneh. Aroma lembab seperti pakaian basah yang tidak kering. Ditambah aroma dengan aroma alkohol yang kuat, hampir seperti yang biasanya Meneer dan Mevrouw minum. Belum lagi bau asap rokok kretek murahan. Aroma yang bercampur-campur itu begitu memuakkan.

"Orang baru."

Mataku melebar. Aku bisa mendengar suara seorang wanita berbahasa Indonesia. Mataku yang masih buta karena berada di dalam karung goni mencoba mencari-cari sumber suara. Aku mulai memberontak lagi. Kugerakkan sekuat tenaga tangan dan kakiku. Aku ingin dilepaskan. Aku ingin dibebaskan.

Sepertinya orang yang menggendongku tadi mulai kesal padaku. Tubuhku melayang dan mendarat di lantai. Tangan kiriku yang menjadi tumpuan tubuh terasa sangat sakit. Semoga tidak patah. Aku merasakan lantai tempatku mendarat ini tidak terlalu dingin, tidak seperti saat di mobil tadi. Ini seperti lantai kayu, aku bisa menghirup aroma kayu-kayuan dalam jarak sedekat ini.

Karung goni di kepalaku dibuka. Aku perlu mengedipkan mata beberapa kali untuk bisa melihat dengan jelas. Mataku yang semula gelap harus terbiasa dulu dengan penerangan di ruangan itu.

Setelah mulai terbiasa, aku melihat seorang wanita bermata sipit dan berbaju aneh. Baju abu-abu dengan gambar bunga-bunga dan ikat pinggang berwarna hitam selebar daun pisang yang melilit di perutnya. Aneh. Meskipun wanita jawa memakai stagen, juga tidak dibiarkan di luar seperti begitu. Pasti masih ditutupi kemben atau kebaya di luarnya. Aku juga pernah melihat Mevrouw van Dijk memakai korset, tapi diletakkan di dalam pakaian. Kenapa wanita itu memakai korset di luar pakaiannya?

Aku melihat wajah wanita itu. Berkulit kuning yang bersih. Berbeda dengan Mevrouw atau Anneke yang berkulit pucat dan ada bintik-bintik memenuhi hidung dan pipinya. Kuamati lagi wajah wanita itu, belum ada keriput. Sepertinya baru berusia akhir dua puluh tahunan atau awal tiga puluhan.

Wanita itu mengangkat daguku dan melihat wajahku seperti diteliti dari atas ke bawah, kanan ke kiri.

"Cantik. Berapa umur?"

Ternyata wanita itu pemilik suara yang bisa berbahasa Indonesia tadi. Meskipun dia bicara menggunakan bahasa kami, tetapi nada bicara wanita itu terdengar aneh di telingaku.

"Lima belas," jawabku.

"Sempurna. Berdiri."

Aku kesulitan berdiri dengan tangan yang masih terikat. Belum lagi tangan kiriku yang masih terasa agak sakit karena terjatuh tadi. Wanita itu sepertinya menyadari kesulitanku, sehingga ia membantuku untuk berdiri.

Setelah berdiri, aku bisa melihat ruangan itu luas. Seperti ruang tamu dengan dua meja bundar dan masing-masing punya empat kursi yang mengelilinginya. Di dinding, belakang wanita itu, ada beberapa baris tulisan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Meskipun aku tidak bisa membaca, tetapi aku pernah setidaknya melihat beberapa bentuk tulisan di buku Anneke atau di kemasan makanan.

Aku bisa melihat tiga orang yang tadi ada di rumah keluarga van Dijk, belum pergi dari tempat ini. Sebenarnya ini tempat apa?

"Ikut saya," titah wanita berbaju aneh itu.

Tanpa perlu menunggu jawabanku, ia sudah berjalan lebih dulu. Aku mengikutinya masuk ke salah satu ruangan di balik dinding dengan banyak baris tulisan itu. Ruangan itu tidak terlalu luas, masih lebih luas kamarku di rumah keluarga van Dijk. Meskipun tidak luas, setidaknya cukup untuk satu kasur, satu meja rias kecil, dan satu lemari.

"Namaku Sora. Panggil aku Nona Sora."

Aku mengangguk paham. "Namaku Kardiyah, Nona."

Wanita bernama Sora itu mengambil pisau kecil di laci meja riasnya lalu membuka ikatan tanganku. Setelah terlepas, aku memutar pergelangan tangan yang sejak tadi terasa pegal. Aku lega karena akhirnya bisa terlepas dari ikatan itu.

"Sudah menikah?"

Aku menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan itu.

"Buka pakaianmu."

Kukorek telinga kananku. Aku tidak salah dengar kan?

"Cepat buka."

Nona Sora terlihat tidak sabaran. Wanita itu mendekat dan merobek paksa kebaya yang aku pakai. Kebaya ini saja sudah rapuh dan banyak tambalan karena bolong. Ya sudah pasti dengan sekali hentakan saja, rontok. Jaritku juga dibuka paksa oleh Nona Sora.

Secara naluriah, aku langsung menutupi tubuhku yang tidak tertutup sehelai benang pun dengan tangan. Belum cukup sampai di sana. Nona Sora memutar-mutar tubuhku, lalu menyingkirkan tanganku. Ia melihat bagian kewanitaanku dengan mata yang menyipit dan kening yang berkerut. Apa yang dicarinya? Apa aku dituduh mencuri atau apa?

"Saya tidak menyimpan apa-apa, Nona. Saya berani bersumpah kalau saya tidak mencuri." Aku berusaha memelas supaya wanita itu menyudahi apa pun yang dilakukannya sekarang.

Nona Sora tetap terdiam lalu membuka lemarinya. Ia mengambil gaun panjang berlengan pendek dengan warna seperti padi yang siap dipanen.

"Pakai baju ini," perintahnya.

Tanpa menunggu lama, aku langsung merebut pakaian itu dari tangan Nona Sora. Aku tidak ingin berlama-lama telanjang di hadapan wanita itu. Pakaian itu terasa longgar ketika dipakai oleh tubuh kurusku. Aku merasa aneh ketika memakai pakaian yang diberikan Nona Sora. Aku butuh kemben atau apa pun yang bisa menutupi dada. Pakaian ini terlalu tembus pandang bagiku.

"Sekarang, nama kamu Juuni."

"Juuni?" Sebenarnya, di kepalaku yang tidak pernah sekolah ini, ada banyak pertanyaan. Tempat apa ini? Kenapa aku diberi nama Juuni? Apa arti Juuni?

"Ayo, aku antar ke kamarmu."

Lihat selengkapnya