Juuni

Andin FN
Chapter #3

Ukiran di Tangan

Nona Sora berteriak marah pagi itu. Berteriak dan mengomel menggunakan bahasa ibunya. Percuma, aku tidak paham. Aku mengacaukan acara membungkuk pada matahari. Sudah pasti aku seperti menghancurkan ritual untuk menyembah Tuhan mereka. Sementara, San hanya tertawa-tawa seperti orang sinting. Beberapa tentara membawa pergi tentara yang tertusuk konde, pasti untuk menemui dokter.

Para gadis lain menatapku dengan takut-takut. Mungkin mereka menganggapku sinting seperti San. Nona Sora menarik rambutku dan menyeret aku untuk masuk ke dalam. Aku memberi kejutan pagi hari untukmu kan, Nona? Tapi yang aku mau sebenarnya tentara itu membunuhku. Mereka bodoh. Aku ingin mati saja daripada harus memenuhi nafsu birahi mereka.

Nona Sora melempar tubuhku ke lantai. Kepalaku nyaris terantuk kursi. Ia masih mengomel menggunakan bahasa Nippon. Wanita aneh. Sudah tahu aku tidak bisa bahasanya. Salah satu tentara masuk ke dalam ruangan. Aku mengingat wajahnya. Wajah angkuh dengan mata cokelat gelap, yang membawaku ke sini dari kediaman van Dijk. Penipu bajingan yang membuatku mengira bahwa ia baik.

Nona Sora dan pria itu berdebat dengan bahasa Nippon. Aku tidak mengerti sama sekali apa yang mereka bicarakan. Tentara itu mengeluarkan pistolnya dan mengarahkan padaku. Baik, bunuh saja aku sekarang. Nona Sora bicara lagi, lalu tentara angkuh itu menurunkan pistolnya dan berjalan keluar ruangan dengan langkah yang berat. Sepertinya Nona Sora berhasil membujuknya untuk mengurungkan niat menembakku.

"Kali ini kamu hidup. Pergi ke kamarmu!" bentak Nona Sora dengan nada tinggi.

"Jangan harap aku mengucap terima kasih padamu, Nona Sora. Bunuh saja aku selagi bisa."

Nona Sora berjalan mendekat lalu membungkuk. Aku bisa mencium aroma kelopak mawar dari tubuh Nona Sora. Aroma yang mengingatkan aku pada Mevrouw van Dijk. Nyonya besarku itu sering berendam dengan air kelopak mawar. Siapa lagi yang bertugas memetik kelopak mawar kalau bukan aku.

Napas Nona Sora naik turun tidak beraturan. Kedua matanya yang sipit melotot dan memerah. Aku tahu, aku telah membuatnya kesal. Nona Sora mencengkeram pipiku dengan erat. Kuku-kukunya yang panjang berwarna merah muda senada dengan pakaian anehnya seperti menancap di pipiku. Aku merasakan perih di setiap ujung jemarinya yang menempel di wajahku.

"Merepotkan. Aku tidak ingin mengurus mayat. Tubuhmu masih berguna untuk mereka. Aku bisa mendapat uang dari tubuhmu ini. Jangan membuat aku marah. Mengerti?"

Dihempaskannya lagi wajahku dengan kasar hingga aku hampir mencium lantai kayu. Dua tanganku terkepal kuat di lantai. Mungkin setelah ini aku hanya akan tersiksa. Para tentara itu akan lebih menyiksaku di kamar. Lebih baik aku mati.

"Juuni!"

Aku menoleh. Dia Sri, gadis yang menyerukan nama pemberian Nona Sora kepadaku. Gadis bertubuh mungil itu berteriak dan berlari mendekat. Sepertinya ritual menyembah matahari telah usai. Sinar matahari juga mulai masuk memenuhi ruangan itu, sehingga terlihat lebih terang dan terasa hangat. Orang-orang berjalan masuk dari luar, baik itu para gadis ataupun para tentara. Para tentara itu melihatku dengan tatapan meremehkan dari balik topinya yang terlihat konyol.

Sri membantuku berdiri dan berjalan masuk ke lorong setengah gelap yang menuju ke kamar. Gadis mungil itu memapahku dan ikut masuk ke kamar nomor dua belas.

"Kenapa kamu tidak berhati-hati, Juuni? Kalau kamu tidak melawan, kamu akan selamat," ucap gadis itu.

"Selamat dari mana, Sri?"

"Juuichi," ujarnya mengoreksi.

Aku muak mendengarnya terus-menerus mengoreksi. Apa ia tidak ingin memakai namanya sendiri?

"Selamat dari mana, Juuichi?" tanyaku mengulang dengan nama panggilan pemberian Nona Sora. "Kamu ingin hidup terus seperti ini? Di mana harga dirimu? Tentara Nippon itu bajingan. Mereka cuma mau tubuhmu."

"Bukankah sama saja dengan para londo itu, Juuni? Mbakyuku juga disiksa oleh meneer-nya. Mereka bilangnya mbakyu akan diambil untuk dijadikan gundik. Tahunya hanya diperlakukan seperti babu dan disuruh beranak. Hanya karena istrinya si Meneer itu tidak bisa mengandung. Bagus mereka sekarang mengusir londo-londo angkuh itu."

Aku mengembuskan napas kasar. Bukannya kami tidak sepaham. Hanya saja dijajah londo maupun Nippon sama saja. Kaum yang lemah tetap tersiksa. Kapan kaum kami akan merdeka? Aku sudah muak dengan peperangan yang tiada henti.

"Siapa namamu?"

Percakapanku dengan Sri terhenti. Kami berdua menoleh ke arah pintu. Gadis londo berambut pirang sebahu dan bermata hijau menatap kami berdua. Gadis gila yang aku tahu namanya adalah San. Ia berdiri dengan tangan dilipat di depan dada. Bersikap angkuh. Mungkin terbiasa sejak kecil meremehkan kaum inlander seperti aku dan Sri.

Aku belum menjawab pertanyaannya itu. Aku tidak tahu apa yang ia inginkan. Nama asli atau nama pemberian Nona Sora?

San melangkah mendekat. Dengan jarak sedekat ini aku bisa melihat pipinya yang kemerahan dihiasi bintik-bintik cokelat. Gadis itu mengulurkan tangan lebih dulu untuk berkenalan. Ini pemandangan yang jarang aku temui. Seorang londo yang mengajakku berkenalan dan bersikap ramah lebih dulu.

"Dorothy."

Kusambut tangan berwarna putih pucat itu. "Kardiyah."

Dorothy melirik ke arah Sri, tetapi terlihat mengabaikannya. Entah karena sudah pernah berkenalan atau Dorothy merasa tidak ingin berurusan dengan Sri.

"Kamu berani tadi. Tapi berhati-hatilah. Mulai sekarang hidupmu tidak akan mudah, Kardiyah."

Gadis londo itu mengangkat bajunya yang berlengan panjang sampai ke siku. Ia menunjukkan bagian dalam tangannya. Ada bekas luka yang sudah mengering dan meninggalkan bekas kulit yang lebih timbul. Luka seperti ukiran dengan bentuk tiga garis tidak sama panjang di pergelangan gadis itu. Apakah dia mencoba membunuh dirinya sendiri?

Seperti bisa membaca pikiranku, Dorothy tertawa. "Ini bukan bunuh diri, Bodoh. Diriku terlalu berharga untuk bunuh diri. Ini adalah bekas luka dari tentara tidak beradab itu, setelah aku menggigit telinga salah satu dari mereka sampai nyaris putus. Nona Sora bilang ini adalah angka tiga dalam bahasa Nippon. Mungkin kamu akan mendapatkannya nanti, dengan angka dua belas."

Aku bergidik ngeri. Tidak bisa membayangkan memiliki bekas luka seperti itu. Sepertinya Dorothy tidak ingin aku melihat lukanya lebih lama. Ia segera menutup tangannya lagi dengan lengan panjang. Gadis londo itu tidak segila yang aku pikir. Ia masih bisa bercakap-cakap. Entah kenapa gadis lain menganggapnya gila. Apa karena ia menggigit telinga tentara itu sampai nyaris copot?

"Apa yang kamu tabur, itulah yang kamu tuai," ujar Sri yang masih duduk di sebelahku. "Kamu melawan mereka lebih dulu, makanya mereka menyakitimu lebih banyak."

Dorothy mendengkus dan menatap Sri dengan tatapan tidak suka. Lalu menggumam dengan bahasa ibunya. Dua tahun aku tinggal bersama keluarga van Dijk, membuat aku sedikit mengerti apa yang diucapkan Dorothy. Gadis itu menghina Sri. Ia berkata bahwa Sri gadis inlander murahan yang menikmati seks pemberian tentara tidak beradab itu.

"Jangan bicara dengan bahasamu. Aku tidak mengerti. Hina aku dengan bahasa Indonesia kalau kamu berani," ucap Sri.

Alih-alih mengejek, Dorothy justru menarik bibir ke kanan kiri dan menunjukkan deretan giginya. "Gadis manis yang baik hati."

Setelah berkata seperti itu, Dorothy pergi. Ia melenggang sambil bersenandung. Ia pergi begitu saja setelah membuat Sri kesal setengah mati.

"Lihat kan? Nippon dan londo sama saja. Londo angkuh itu mengira dirinya masih di atas langit. Padahal sekarang derajat kita sama. Sama-sama jadi tawanan Nippon." Sri masih menggerutu kemudian menatap mataku. Aku masih bisa melihat kekesalan dari raut wajahnya. "Jangan kamu berteman sama San. Kalau tidak mau dianggap gila."

Untuk sementara ini aku tidak bisa memihak. Aku mengerti bagaimana Sri membenci londo karena mbakyunya sudah disakiti sedemikian rupa oleh mereka. Sementara aku, selama aku hidup selalu menemukan londo yang baik padaku. Memang kadang mereka angkuh dan menyebalkan, tetapi mereka bersikap baik padaku selama ini.

~~~

Aku menatap langit melalui jendela kamar. Matahari mulai terbenam. Langit berwarna biru berubah menjadi oranye. Burung-burung juga berterbangan secara berkelompok, mungkin pulang ke sarangnya. Penyiksaanku sebentar lagi dimulai. Para tentara beringas itu pasti sebentar lagi datang ke kamarku satu per satu.

Lihat selengkapnya