Juuni

Andin FN
Chapter #4

Ladang Tebu

Aku kaget melihat darah yang keluar sebanyak itu. Wajah Dorothy terlihat sangat pucat. Sepertinya ia akan pingsan sebentar lagi. Benar saja, Dorothy roboh dan meringkuk di lantai seraya memegangi perutnya dengan kuat, urat-uratnya terlihat jelas dari tubuhnya yang kurus.

"Sri. Sri. Juuichi!"

Sri keluar kamar begitu mendengar teriakanku. Raut wajahnya ikut panik ketika melihat Dorothy mengeluarkan darah sebanyak itu.

"Juuni. Panggil Roku. Di kamar nomor enam. Dua minggu lalu ia juga mengalami pendarahan hebat. Dia pasti tahu apa yang harus dilakukan!" ucap Sri.

Aku menganggukkan kepala kemudian berlari. Aku berlari tak tentu arah. Aku menatap barisan pintu-pintu itu. Bodoh! Aku pukul kepalaku dengan sangat kuat! Aku berbalik dan berlari kembali ke arah Sri.

Aku melihat Dorothy merintih. Gadis itu terlihat sangat kesakitan. Sedangkan Sri membiarkan kepala Dorothy bersandar padanya.

"Maaf, Sri. Aku memang bodoh. Aku tidak bisa membaca angka. Bagaimana bentuk nomor enam?"

Sri berdecak sebal ke arahku. "Jaga San di sini. Biar aku saja yang ke kamar Roku."

Aku jadi merasa bersalah. Terkutuklah kepalaku yang kosong ini! Tidak berguna!

Tak lama kemudian, Sri datang kepada kami. Di belakangnya ada seorang gadis keturunan Tionghoa, pasti itu yang bernama Roku. Tidak seperti raut wajahku dan Sri, wajah Roku terlihat lebih tenang daripada kami.

"Bawa dia ke kamar. Bantu dia untuk mengangkat kakinya, supaya tulang panggulnya terbuka. Dengan begitu, janinnya akan lebih mudah keluar," perintah Roku. "Aku akan membuatkan ramuan untuknya."

Aku dan Sri mengangguk. Kami berdua memapah Dorothy untuk kembali ke kamarnya. Sementara Roku berlari ke pekarangan belakang untuk membuat ramuan.

Sesuai arahan Roku. Aku dan Sri membaringkan Dorothy dalam keadaan terlentang dan melebarkan dua kaki gadis pirang itu. Tak lama berselang, Roku kembali membawa cawan berisi ramuan berwarna tidak menarik, antara kuning, coklat, hijau, entahlah.

"Minum ini. Ini akan menghentikan pendarahan. Besok akan aku buatkan lagi," perintah Roku.

Aku membantu Dorothy untuk sedikit duduk dan meminum ramuan itu. Setelah beberapa menit ada gumpalan berwarna merah kehitaman yang keluar dari tubuh Dorothy. Bulu kudukku berdiri begitu melihat janin itu keluar. Dorothy sangat tangguh. Kugigit bibir bawahku, aku tidak tahu apakah aku akan sanggup berada di posisinya.

Sementara aku masih terpaku pada janin yang keluar itu. Masih dengan tenang, Roku mengambil kain dari lemari Dorothy kemudian membungkus gumpalan itu.

"Agamamu Kristen, bukan?" tanya Roku.

Dorothy mengangguk lemah sebagai jawaban.

"Kita harus menguburnya. Tapi tidak akan ada pendeta yang berdoa untuk bayi ini. Kamu sendiri yang harus berdoa untuknya. Apa kamu sudah kuat untuk berdiri?"

Kali ini, Dorothy menggeleng. "Beri aku sedikit waktu."

Roku mengangguk lalu memberikan kain berisi janin ke pelukan gadis pirang itu.

"Kamu. Juuni?"

Roku menunjuk ke arahku. Aku mengangguk, menunggu perintah selanjutnya.

"Bantu aku menggali kuburan untuk janin itu. Di sini tidak akan ada cangkul. Kita harus menggali dengan jemari kita. Tapi kita tidak bisa berlama-lama. Kalau petang nanti kita belum kembali di kamar, Nona Sora akan menghukum kita. Sebaiknya kita bergegas."

Aku mengikuti langkah Roku untuk ke halaman belakang. Halaman belakang bukan halaman dengan banyak pohon, bahkan tidak ada pohon untuk berteduh. Hanya ada tanaman-tanaman kecil di dalam pot. Aku jadi bingung harus menggali di mana. Seharusnya bisa menggali di bawah pohon, tetapi tidak ada pohon.

Sementara itu, Roku memilih untuk menggeser kursi yang terbuat dari bambu di sana dan mulai menggali. Gadis itu mulai berjongkok dan menggali dengan tangannya. Aku juga mulai ikut menggali dengan jemariku.

"Kalau kamu mengalami hal yang sama dengan San. Kuburlah anakmu di sini. Di sini akan tertutupi kursi bambu, setidaknya anakmu tidak akan diinjak-injak orang," ucap Roku.

Aku menganggukkan kepala. "Oh iya, Roku. Dari mana kamu mempelajari ramuan-ramuan itu?"

"Dari ayahku. Dia seorang peramu obat tradisional. Dan kamu tahu itu?" Roku menunjuk ke arah tanaman-tanaman dalam pot. "Itu adalah tanaman obat. Aku membuat ramuan dari sana. Aku sering membantu ayahku saat melayani pasien. Jadi aku tahu banyak tentang tanaman obat. Sepertinya Nona Sora tidak tahu itu adalah tanaman obat, jadi ia membiarkan tanaman itu tumbuh di sana dengan sendirinya."

Aku memberikan anggukan penuh kekaguman. Roku terlihat cekatan dengan tangannya yang terus menggali. Aku juga tidak boleh bermalas-malasan. Kugunakan semua kekuatanku untuk menggali tanah ini. Aku ingin janin Dorothy terkubur dengan layak.

Setelah selesai menggali, kami berdua memanggil Dorothy. Gadis itu masih terlihat lemah. Sri membantu Dorothy untuk berjalan, meskipun sangat pelan. Lucu rasanya melihat dua orang itu. Dua orang yang tadinya tidak saling suka, sekarang saling menolong karena merasakan penderitaan yang sama.

Dorothy berdoa kepada Tuhan-nya. Aku dan Sri bukan penganut agama manapun, hanya bisa menatap Dorothy yang berdoa dengan serius. Roku juga turut berdoa pada Tuhan-nya.

~~~

Hari terus berlanjut. Pagi seperti biasa kami lalui lagi. Kami baru selesai melakukan ritual penyembahan matahari, aku tidak ingat nama untuk ritual itu. Terlalu sulit untuk otakku yang tumpul ini.

Sekarang, aku dan Sri ada di halaman belakang menikmati sinar matahari di kulit kami. Sri membuat ukiran di atas tanah dengan sebatang ranting. Ia mengajariku membaca angka. Pada dasarnya aku bisa menyebutkan satu sampai sepuluh, bahkan belasan. Aku sudah pernah bilang kan kalau aku tidak pernah belanja ke pasar, karena bahan makanan langsung dikirim oleh orang suruhan Mevrouw van Dijk. Karena itu, aku tidak perlu repot mengenal angka. Aku juga lebih senang bertukar barang. Bapakku punya kebun pisang sepetak, aku sering disuruhnya bertukar dengan bahan makanan di pasar. Beberapa penjual masih menganut sistem ini. Menurutku itu lebih mudah daripada aku harus menghitung uang-uang yang aku tidak mengerti jumlahnya.

Meskipun bisa menyebutkan angka, yang jadi masalah sekarang adalah aku tidak tahu bagaimana bentuk angka-angka itu dalam tulisan. Maka Sri di sini, dengan tekad yang kuat, ingin mengajariku. Setidaknya membaca tulisan di pintu-pintu kamar. Dia sangat kesal karena kemarin aku tidak bisa mencari kamar Roku, perkara aku tidak bisa membaca angka enam.

Sementara itu, Dorothy mendapat istirahat dari Nona Sora sebanyak tujuh malam. Ia juga diperbolehkan untuk tidak ikut ritual menyembah matahari dan harus istirahat total. Dorothy sih senang-senang saja. Daripada matahari, gadis itu masih mempercayai Tuhan yang ia sembah akan menolongnya.

"Jadi ini angka satu, angka dua. Kamu pasti mengerti karena kamarmu angka dua belas. Angka tiga, kamu juga sudah tahu karena itu adalah kamar San."

Aku mengangguk-angguk pada tulisan di tanah itu.

"Artinya tinggal beberapa angka lagi. Ini empat, yang bentuknya seperti kursi terbalik," lanjut Sri.

Aku terus mendengar ocehan Sri tentang bentuk angka-angka yang ia tulis di permukaan tanah. Aku mencoba memahami segala omongannya tentang bentuk angka yang diumpamakan dengan benda. Rasanya belajar bersama Sri, terlihat lebih mudah.

Setelah Sri mengajariku angka satu sampai sepuluh, ia mengujiku dan menyuruhku menulis di permukaan tanah. Aku menuruti permintaannya. Sri ikut tertawa dan bertepuk tangan ketika semua tebakanku benar. Aku jadi bangga dengan diriku sendiri.

"Sudah bagus lah, Juuni. Kamu berhasil membaca angka satu sampai sepuluh. Untuk angka belasan, artinya ada angka satu di setiap angka lain. Misal sebelas, artinya ditulis satu-satu. Kamu dua belas, ditulis satu-dua. Tiga belas, ditulis satu-tiga. Dan seterusnya. Mengerti kan?"

Aku menganggukkan kepala. Penjelasan Sri begitu mudah masuk ke kepalaku.

"Ya sudah. Kalau sudah paham, ayo kita cuci baju."

Dengan penuh tawa, kami mencuci baju. Ilmu yang sedikit berkembang di kepalaku, sepertinya membuat kami berdua menjadi semakin bersemangat.

Kujemur pakaianku pada tali yang sudah disediakan untuk menjemur. Beberapa baju gadis lain sudah terjemur di sana. Karena aku dan Sri harus belajar dulu tadi, kami jadi mendapat tempat di tali paling ujung. Tali paling jauh dari rumah.

Lihat selengkapnya