Dia datang lagi. Ini sudah kesekian malam, pria yang mengaku bernama Daiki itu datang ke kamarku. Seperti biasa, dia tidak menyentuhku sama sekali. Dia hanya bercerita banyak hal di luar sana.
Dulu ketika aku menjadi babu di rumah Meneer van Dijk, aku juga jarang keluar rumah. Tapi Anneke dan Meneer selalu menceritakan keseharian mereka di luar rumah saat makan malam. Walaupun bukan bercerita padaku, tetapi kepada Mevrouw, aku kerap kali mencuri dengar pembicaraan mereka. Semangatku selalu mengembang ketika mendengar kisah-kisah di luar sana. Jika pembicaraannya tidak mengarah ke pembahasan sensitif, mereka membiarkan aku turut mendengarkan. Namun, kalau pembahasan mereka sensitif seperti menjelekkan kaum inlander atau obrolan bisnis, Mevrouw langsung menyuruhku ini dan itu. Mereka juga langsung berbicara dengan bahasa Belanda.
Begitu pula saat ini, aku terlalu bersemangat menunggu kedatangan Daiki hampir setiap malam. Aku menunggu ceritanya di luar sana. Tampaknya laki-laki itu bisa melihat rasa semangatku ketika mendengar ocehannya tentang dunia di luar sana. Ia juga tak pernah marah, justru membawakan lebih banyak cerita dan berbagi camilan kering yang dibeli di pasar.
"Terima kasih telah datang ke sini lagi dan membawa banyak cerita untukku."
Daiki tersenyum lalu mengangguk. "Biar kamu tidak bosan di sini, aku membawa yang lebih menarik. Nona Sora tidak akan menyukainya, jadi sembunyikan sebaik mungkin di kolong kasur atau di belakang lemari. Jangan sampai kamu tertangkap."
Kukerutkan keningku karena penasaran. "Memang apa yang kamu bawa?"
Mata Daiki semakin berbinar. Laki-laki itu terlihat sama bersemangatnya denganku. Dengan cepat ia merogoh bagian dalam bajunya dan mengeluarkan sebuah buku dari sana. Buku dengan sampul berwarna merah dan tulisan hitam. Bahuku langsung melorot ketika melihat apa yang Daiki bawa. Aku kira ia menyelundupkan makanan atau sesuatu yang lebih menarik, ternyata sebuah buku.
"Buku kumpulan cerita pendek yang aku dapatkan di pasar. Kamu bisa membacanya jika kamu bosan di kamar. Meskipun buku bekas, tetapi cerita di dalamnya cukup menarik." Senyuman Daiki belum luntur, ia meletakkan buku itu di atas kasur dengan hati-hati.
"Bawa saja bukunya kembali. Aku tidak mau," ucapku dengan rasa kecewa.
Daiki melebarkan matanya, mungkin terkejut dengan penolakanku.
"Kenapa? Aku kira kamu suka mendengarku bercerita. Daripada kamu menungguku setiap malam hanya untuk mendengar cerita, kamu bisa membacanya sendiri sekarang."
"Aku tidak bisa membaca, Daiki. Aku hanya bisa membaca angka. Itu pun baru bisa beberapa minggu lalu. Juuichi mengajariku supaya bisa membaca nomor di setiap kamar."
Pria itu mengerjapkan mata dua kali dengan cepat. Apakah aku bicara terlalu cepat atau ada perkataanku yang tidak ia mengerti? Aku penasaran dengan tanggapannya.
"Aku akan mengajarimu membaca," ucapnya.
Kata-kata Daiki terngiang di kepalaku. Baru kali ini ada orang yang berniat mengajariku membaca. Meskipun keluarga van Dijk baik padaku, mereka tidak ada yang ingin mengajariku membaca.
"Kamu yakin?"
Daiki menganggukkan kepalanya. "Yakin. Besok aku akan datang membawa kertas dan pena. Kamu harus belajar membaca, Juuni. Seandainya kamu bisa keluar dari sini nanti, kamu akan bisa melihat betapa indahnya dunia ini dengan bisa membaca. Kamu tidak akan ketinggalan berita dari koran-koran yang terpanjang di toko. Kamu juga bisa menonton film luar negeri dengan terjemahan."
Pikiranku melayang dengan semua perandaian yang diucapkan Daiki. Namun, aku juga tidak yakin apakah aku bisa keluar dari sini dalam keadaan hidup.
"Daiki, apa suatu saat aku bisa keluar dari sini?"
Pria itu tidak langsung menjawab. Sepertinya, ia juga tidak yakin. Dari puluhan gadis yang tinggal di sini, belum ada yang pernah yang aku lihat keluar hidup-hidup.
"Suatu saat nanti mungkin, Juuni. Mungkin Nona Sora akan mengizinkanmu menikah. Lalu ada gadis baru yang akan datang untuk menggantikanmu di sini. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Setidaknya, jangan patahkan harapanmu dulu, Juuni."
Menikah? Mendengar perkataan itu saja membuatku ragu-ragu. Masalahnya di sini adalah pria mana yang mau menikahiku? Jangan berharap menikah dengan saudagar kaya raya atau pemilik sawah berpetak-petak. Kuli beras di pasar pun, pasti lebih memilih gadis perawan dari desa yang lugu dan pandai di dapur seperti Sriyati. Daripada aku, yang sudah tidak perawan, dan bekas tentara-tentara Nippon.
"Aku akan membacakan satu cerita untukmu malam ini. Mulai besok kamu harus mulai belajar membaca. Aku sendiri yang akan mengajarimu," lanjut Daiki. Pria itu mengambil lagi buku yang dia bawa dan membuka halaman pertama.
"Tunggu dulu. Aku ingin mengatakan sesuatu. Tadi kamu bilang, Nona Sora akan mengizinkanku menikah. Apa mungkin aku bisa keluar dari ini dengan pernikahan?" Pertanyaan itu membawa harapan besar untukku. Kalau memang bisa keluar hanya dengan pernikahan, aku terpikirkan satu cara.
Daiki menutup kembali bukunya. Ia menggerak-gerakkan jemarinya di paha, terlihat berpikir sebelum menjawab, "Mungkin saja. Ada satu syarat yang mungkin belum kamu tahu. Nona Sora membawa wanita yang belum menikah untuk datang ke sini. Dia tidak pernah membawa wanita yang sudah menikah untuk dibawa ke sini."
Senyuman di bibirku mekar. Ada harapan.
"Daiki. Aku ingin bertanya satu hal lagi padamu."
Pria itu menganggukkan kepalanya. "Tanya apa?"
"Maukah kamu menikahiku?"
Daiki menggelengkan kepalanya. "Aku tidak ada alasan untuk menikahimu. Setidaknya, belum ada alasan."
"Katakan pada Nona Sora kalau kamu mencintaiku dan ingin menikah denganku. Bawa aku keluar dari sini. Pernikahan kita hanya sebatas pernikahan pura-pura. Kamu tetap bebas setelah membawaku keluar. Aku bukan menjadi istrimu yang sebenarnya."
"Cinta dan pernikahan bukan untuk main-main, Juuni. Aku tidak akan menikahimu, tidak tanpa alasan."
Dua bahuku terjatuh. Kukira Daiki mau menolongku. Pria baik dan sopan yang datang ke kamarku hampir setiap malam, tanpa menyentuhku. Aku kira dia akan bisa menolongku.
"Daiki. Kamu akan menikahiku jika ada alasan kan? Kalau begitu, aku akan memberimu alasan."
Kening pria itu berkerut. Kelihatannya ia tidak paham dengan perkataanku. "Alasan apa?"
"Buat aku hamil anakmu. Dengan begitu, kamu memiliki alasan untuk menikahiku. Setelah kamu berhasil membawaku keluar dari sini, aku akan menggugurkan anak itu. Anak itu tidak akan pernah menjadi beban untukmu."
"Kamu gila, Juuni. Mungkin kamu terlalu lelah. Sebaiknya aku pergi dari sini. Besok aku akan kembali membawa kertas dan pena. Kita akan belajar membaca. Istirahatlah, aku akan berjaga di luar," ucapnya. Pria itu beranjak dari kasur dan pergi keluar kamar.
Harapan itu ada. Jalan keluar dari sini itu nyata. Hanya saja bukan Daiki orangnya. Apa aku harus mulai bertanya pada setiap pria yang masuk ke kamar ini untuk menikahiku? Tapi mereka tidak sebaik Daiki. Mereka hanya binatang buas yang gemar menyiksa. Yang ada aku akan babak belur karena ide yang gila yang muncul dariku.
Kuembuskan napas panjang. Aku tidak akan menyerah. Hanya Daiki orangnya. Hanya dia satu-satunya yang bisa menyelamatkanku.
~~~