Juuni

Andin FN
Chapter #6

Pemimpin yang Baru

1944 M.

Sudah dua tahun aku menjadi budak seks di rumah ini. Hari-hari yang aku jalani tidak ada yang berarti. Banyak gadis baru yang datang. Ada juga orang lama yang meninggal karena sakit atau bunuh diri. Kamar nomor dua belas tetap menjadi kamarku.

Meskipun aku kerap kali mencari masalah, Nona Sora tetap menjadikanku pekerja di sini. Dia bilang tubuhku bagus, sayang kalau disia-siakan. Banyak tentara-tentara itu yang menyukaiku dan secara khusus meminta nomor dua belas. Mungkin itu sebabnya, Nona Sora tetap mempertahankan aku, meskipun menurutnya tingkahku menyebalkan. Tentu saja segala masalah yang aku timbulkan berbuah sedikitnya satu pukulan dari Nona Sora.

Aku masih sering merindukan Daiki. Pria itu sama sekali tidak kembali. Aku pernah bertanya pada Nona Sora. Wanita itu bilang, Daiki menukar dirinya denganku. Pria itu meminta atasannya untuk dipindah tugaskan keluar kota dan berjanji pada Nona Sora untuk tidak menunjukkan diri lagi padaku.

Jujur, aku masih berharap itu semua palsu. Aku berharap Daiki masih di sini, bersembunyi di balik batang-batang tebu. Awal kepergian Daiki, berkali-kali aku mencoba mendekati ladang tebu. Namun, Sri, Dorothy, dan Roku tidak membiarkan aku sedikit pun beranjak selangkah mendekati tanaman tinggi itu.

Dua tahun berada di sini, aku sudah terbiasa orang-orang memanggilku Juuni. Sekarang aku bisa sedikit bahasa Nippon. Maksudku, hafal angka dalam bahasa Nippon. Ichi, Ni, San, dan seterusnya. Semua panggilan gadis di sini sesuai nomor kamarnya. Untuk bahasanya, aku masih kesulitan untuk mengerti, hanya beberapa bahasa yang terdengar kasar saja yang biasa aku dengar dari tentara ketika bersetubuh denganku. Sekarang aku juga tahu bahwa pakaian Nona Sora dinamakan yukata, dan ikat pinggang selebar daun pisang itu disebut obi. Roku memberitahuku tentang hal itu, sebab Roku pernah bertanya sendiri pada Nona Sora.

Dua tahun ini, aku tidak mengalami kehamilan. Beberapa saat setelah kasus Dorothy pendarahan, ada lagi yang hamil, Nana, si gadis nomor tujuh. Namun nyawanya tidak selamat ketika mengalami pendarahan hebat. Roku sudah berusaha membantu, tetapi gagal. Sejak itu, Nona Sora memberikan kami suntikan satu bulan sekali. Katanya, supaya kami tidak hamil. Nona Sora masih malas berurusan dengan mayat dan tidak ingin kasus itu terulang.

Aku dan tiga sahabatku, Sri, Dorothy, dan Roku sedang mengantre menimba air untuk mencuci baju. Makin banyak gadis di sini, semakin ramai pula sumur di pekarangan belakang. Begitu pula saat ke kamar mandi. Jumlah kamar mandi tidak sebanding dengan jumlah orang di rumah ini.

Pagi ini, awan terlihat berkumpul agak banyak. Aku tahu, seharusnya kami tidak mencuci baju. Namun, baju kami hanya terbatas jumlahnya. Kalau tidak mencuci, kami tidak akan punya baju bersih lagi. Biasanya kalau tiba-tiba hujan turun, kami akan melanjutkan menjemur di dalam kamar masing-masing. Meskipun lebih lama kering daripada terkena matahari langsung. Semoga saja hari ini tidak hujan. Aku tidak suka ada jemuran di dalam kamar, membuat kamar berbau lembab.

"Juuichi, apa kamu tahu hari ini Tai-i baru akan datang?" Sejak kemarin, Roku terlihat antusias dengan kedatangan Tai-i baru. Meskipun aku berdiri di belakang Roku, tetapi aku bisa melihat senyumannya yang lebar itu.

"Bagaimana aku bisa lupa kalau kamu membahasnya sejak kemarin? Memang apa hebatnya ada Tai-i baru atau tidak? Mereka sama saja," ujar Sri yang berdiri di samping Roku.

Kali ini aku setuju dengan Sri. Kedatangan Tai-i baru di sini tidak terlalu membawa pengaruh bagi kami. Mau posisi kapten di markas ini diganti berkali-kali pun, posisiku tetap sama. Jadi pemuas nafsu birahi mereka.

"Aku setuju dengan Juuichi," imbuh Dorothy dengan kekehan khasnya yang seperti orang sinting. "Mereka sama saja. Punya kemaluan yang kecil, tapi keinginan yang besar. Pecundang."

Kusenggol pelan lengan Dorothy. "Jangan sampai ada yang mendengarmu dan melapor ke Nona Sora."

Dorothy mencibir, terlihat tidak peduli dengan peringatanku. Kami maju dua langkah dalam antrean sumur.

"San dan Juuichi tidak mengerti sama sekali," ujar Roku. "Kalau ada kapten baru, kemungkinan di sini akan ada perubahan. Bayangkan kalau ia adalah orang yang baik dan memberikan kita hari istirahat. Betapa menyenangkannya."

Dorothy mendengkus. "Iya kalau memang begitu, tapi kalau justru sebaliknya?"

Roku menoleh ke arah Dorothy, terlihat sebal. "Setidaknya kita masih ada harapan."

"Aku sudah tidak percaya lagi pada harapan. Sepertinya harapan di dunia kita itu nihil. Nggak ada satu pun di dunia kita yang bisa diandalkan," ucapku.

Sri ikut menoleh ke arahku, kemudian ia maju satu langkah dalam antrean. Aku ikut maju satu langkah.

"Jangan terlalu menyerah begitu, Juuni. Benar apa yang dikatakan Roku. Harapan pasti ada. Selagi kita hidup, kita masih ada harapan," ujar Sri.

"Setuju dengan Juuichi," sahut Roku.

"Harapanmu pupus karena kamu sudah lelah berharap pada Tuan Daiki kan?" Dorothy menatapku seolah dapat membaca apa yang ada di pikiran. "Pria bajingan itu. Kurang ajar. Bisa-bisanya menjanjikan akan kembali, tetapi dua tahun tidak berkabar. Wajar kalau Juuni tidak lagi percaya pada harapan."

Aku terdiam, semua perkataan Dorothy ada benarnya. Aku tidak bisa membantahnya. Aku sudah terlanjur berharap dan percaya bahwa Daiki akan kembali dan membawaku pergi. Namun, harapanku perlahan luntur seiring dengan berjalannya waktu. Mungkin Daiki di luar sana, juga telah bahagia. Mungkin, ia telah menemukan tambatan hati yang lebih baik daripada aku. Di tengah lamunanku, aku merasakan sambutan air hujan yang perlahan menetes di tangan.

"Hujan."

Para gadis yang mengantre di sumur segera meletakkan ember kosong di tanah. Aku juga ikut melakukannya, lumayan supaya tidak perlu repot menimba air, kita bisa mencuci baju pakai air hujan. Setelah itu kami berlari untuk masuk ke dalam rumah. Sebagian dari kami menggerutu karena tidak bisa mencuci baju. Sungguh sial, aku juga tidak suka hujan di pagi hari.

"Sudahlah. Kita tidur saja di kamar. Setidaknya kita bisa istirahat sebelum disuruh bekerja lagi oleh Nona Sora," usul Dorothy.

Sri menganggukkan kepalanya. "Setuju."

Dua gadis itu berbalik dan pergi untuk masuk ke dalam kamar. Sementara Roku masih berdiri di sisiku menatap air hujan.

"Kamu tidak masuk, Juuni? Agak dingin bukan? Baju kita terlalu tipis untuk musim penghujan," tanya Roku.

Aku menggeleng tipis. Meskipun aku tidak suka hujan di pagi hari, tapi aku suka aroma air hujan yang menyentuh tanah dan rerumputan. 

"Aku ingin di sini sebentar," jawabku.

"Baiklah. Jangan terlalu lama. Kalau tidak, kamu akan sakit. Bekerja saat sehat saja sudah memuakkan, apalagi bekerja saat sakit. Aku masuk lebih dulu."

Kutatap butir-butir air hujan yang jatuh ke tanah. Tidak deras tapi cukup untuk membuat tanah dan rumput basah kuyup. Kupejamkan mata dan kuhirup dalam-dalam aroma kesukaanku ini.

Setelah puas, perlahan kubuka mataku. Aku tidak boleh terlalu lama di sini. Sangat buruk jika aku sakit. Tidak akan ada dokter yang akan merawatku. Memang benar kata Roku, aku juga merasa pakaian ini terlalu tipis untuk digunakan di musim penghujan. Aku berbalik dan ingin segera masuk ke dalam kamar.

Tunggu. Aku seperti melihat sosok orang di kejauhan sana. Aku berbalik lagi dan menatap ladang tebu di kejauhan. Aku melihat bayangan yang aku kenal. Jantungku berdebar sangat kencang. Apakah itu Daiki? Atau hanya perasaan rinduku yang membuatku jadi berkhayal? Kuusap kedua mataku dengan telapak tangan. Begitu kubuka mata sekali lagi, sosok itu menghilang.

Oh, jangan sampai aku berubah jadi gila karena menahan rindu ini. Sebaiknya aku masuk dan beristirahat.

~~~

Nona Sora meminta kami berbaris rapi saat sore hari. Katanya, akan menyambut Tai-i yang baru. Untung saja hujan sudah reda. Beberapa gadis berkasak-kusuk, berharap kalau Tai-i yang baru akan bersikap baik pada mereka. Aku tidak terlalu tertarik. Aku hanya ingin cepat selesai dari urusan baris-berbaris ini.

Lihat selengkapnya