Juuni

Andin FN
Chapter #8

Penolakan

Mobil kami melewati jalan setapak berkerikil. Jalan desa yang tidak lebar, hanya bisa dilalui satu mobil. Dulu, saat aku masih tinggal di sini, jarang ada mobil yang melalui jalanan ini. Sebagian yang lewat sini adalah dokar, atau sepeda untuk orang yang sedikit mampu.

"Dari mana kamu tahu rumahku?"

Daiki terkekeh. "Setelah aku menjadi Tai-i, tidak sulit untuk mendapat informasi tentangmu, Juuni. Aku bertanya pada tentara yang membawamu, katanya kamu dulu kerja di rumah orang Belanda bernama van Dijk. Setelah kutelusuri, akhirnya aku bisa menemukan asalmu."

Aku menganggukkan kepala. Sejujurnya, aku tidak tahu apakah datang ke rumah Bapak dan Ibu dalam kondisi seperti ini adalah hal tepat atau tidak. Maksudku, dengan pakaian kimono seperti ini. Apa tidak sebaiknya aku pakai kebaya saja? Bagaimana kalau Bapak dan Ibu tidak setuju aku dijadikan gundik? Bagaimana Sriyati memandangku setelah aku menghilang selama dua tahun, lalu kembali bersama seorang Nippon? Belum lagi Anneke. Apa gadis itu sampai dengan selamat ke rumahku? Kalau dia melihatku memakai kimono dan datang bersama Daiki, apa yang akan dipikirkannya? Keluarganya direnggut oleh orang Nippon. Sejak tadi pikiranku ingin meledak memikirkan banyak hal ini.

Mobil kami berhenti di rumah gubuk. Rumah yang setelah kulihat, jadi semakin reyot sejak aku tinggalkan. Daiki turun lebih dulu lalu memutari bagian depan mobil untuk membukakan aku pintu. Ia terlihat lebih gugup daripada yang aku bisa bayangkan. Berulang kali merapikan rambut dan berulang kali merapikan seragamnya.

"Kamu baik-baik saja?"

Daiki menggelengkan kepala. "Gugup karena akan bertemu orang tuamu."

Aku tidak bisa memberi kalimat menenangkan untuk Daiki. Aku sendiri gugup karena sudah dua tahun tidak berjumpa dengan mereka.

Daiki mengembuskan napas panjang. "Bagaimana kalau mereka tidak menyukaiku?"

Kuberikan senyuman pada pria itu. "Mereka akan menyukaimu."

Daiki menganggukkan kepalanya. Lalu ia menggenggam tangan kananku dengan erat. Pria itu menuntunku untuk masuk ke dalam rumah, padahal seharusnya aku yang menuntunnya masuk ke rumah orang tuaku.

Begitu sampai di depan pintu, aku mengetuk pintu kayu yang agak lapuk itu tiga kali. Dengan perasaan cemas, aku menunggu seseorang membukakan pintu. Namun setelah menunggu, tidak ada yang menyahut atau membuka pintu. Rumah bapak tidak besar. Tidak mungkin tidak ada yang mendengar ketukan pintu.

"Bapak. Ibu. Sriyati." Aku memanggil nama mereka sambil mengetuk pintu sekali lagi.

"Kardiyah?"

Aku mendengar suara sahutan dari dalam. Suara bapak yang memanggil namaku. Nama yang sudah lama tidak aku gunakan, nama yang sudah lama tidak aku dengar. Kardiyah, mereka memanggilku. Seketika aku merasa bersalah datang mengenakan pakaian kimono. Aku orang Jawa. Bapak dan Ibu orang Jawa asli. Seharusnya aku tidak meninggalkan adatku. Seharusnya aku tidak meninggalkan namaku.

Bapak membuka pintu. Tubuhnya semakin kurus dari yang terakhir aku ingat. Rambutnya sudah banyak beruban. Aku bisa merasakan tetes air mata yang terjatuh membasahi pipi.

"Bapak." Tenggorokanku terasa kering. Aku tidak bisa berkata apa-apa selain menyebutkan Bapak.

"Kardiyah. Kamu selamat, nduk?"

Tanpa ragu, Bapak langsung memelukku. Aku bisa menghirup aroma tembakau dan kopi yang selalu menempel pada tubuh Bapak. Aku merindukan Bapak. Kami saling berbagi pelukan. Tangis penuh haru mengiringi pelukan kami.

"Pak, Ibu mana? Sriyati?"

Perlahan bapak melepas pelukan itu, kemudian menatap kedua mataku. Aku bisa melihat kerutan-kerutan yang semakin banyak di wajah bapak.

"Ibu wis seda, nduk."

Lututku seketika lemas. Aku hampir roboh. Kalau saja Daiki tidak menahanku, aku akan terjatuh ke tanah. Ibu sudah meninggal. Kapan? Hatiku sakit karena tidak bisa berada bersama Ibu di akhir hayatnya. Dadaku terasa sesak karena tidak bisa melihat Ibu dimakamkan.

"Kapan, Pak?"

"Sesasi sawise kowe ngilang."

Satu bulan setelah aku menghilang. Artinya dua tahun sudah Ibu tiada. Dua tahun, aku hanya sibuk memikirkan di mana Daiki. Dua tahun kukira keluargaku baik-baik saja. Ibu, maafkan aku. Aku berdosa. Aku durhaka padamu, Bu. Seandainya aku tidak diculik. Seandainya aku tidak berada di genggaman Nona Sora.

"Kenapa, Juuni? Aku tidak mengerti bahasa kalian." Daiki yang sejak tadi menopang tubuhku, mulai membuka suara.

Kuusap air mata yang membuat wajahku basah, lalu menjawab, "Ibuku sudah meninggal. Satu bulan setelah aku menghilang."

Bapak sepertinya juga baru menyadari keberadaan Daiki. Bapak melihat Daiki dari ujung kepala sampai ujung kaki. Pandangan penuh haru tadi, sekarang berubah menjadi pandangan penuh ketakutan. Bapak langsung masuk lagi ke dalam dan menutup pintu rumah rapat-rapat.

"Ora ana perawan ing kene. Tidak ada gadis di sini. Pergi! Ngalih!" seru Bapak dari dalam rumah.

Aku dan Daiki saling tatap. Perawan? Gadis? Apa yang dibicarakan Bapak? Aku tidak mengerti sama sekali. Bapak menjadi takut setelah melihat Daiki. Kugigit bibir bawahku. Dadaku berdegup sangat kencang. Tidak mungkin kan? Semoga dugaanku salah. Tentara Nippon tidak mungkin membawa Sriyati. Demi leluhurku, tidak, tidak. Tidak boleh Sriyati.

"Bapak. Daiki orang baik. Dia tidak akan menangkap siapa pun," ucapku sambil mengetuk pintu rumah. Aku yakin, setidaknya untuk saat ini, dia tidak akan menangkap siapa pun. "Di mana Sriyati?"

Bapak tidak menyahut dari dalam. Sepertinya ia masih ketakutan.

"Bapak. Di mana Sriyati? Jawab, Pak. Di mana adikku?" Aku berusaha bertanya dengan penuh rasa takut. Aku takut kalau Sriyati dibawa oleh tentara Nippon dan dijadikan budak seks seperti aku.

"Bapak. Aku tidak akan menangkap siapa pun," sambung Daiki. "Saya mencintai Juuni. Maksud saya, Kardiyah. Tolong Bapak buka pintunya."

Perlahan Bapak membuka pintu itu kembali. Aku masih bisa melihat raut wajah ketakutan Bapak. Sorot mata yang semula terlihat senang ketika menatapku, perlahan meredup. Jelas sekali bahwa Bapak berusaha untuk tidak bertatapan dengan Daiki. Aku tahu ada hal buruk terjadi.

"Masuk," perintah Bapak. "Hampir setiap bulan, tentara Nippon mencari gadis perawan di daerah-daerah. Tidak tahu dibawa pergi ke mana."

Aku dan Daiki saling tatap ketika mendengar penjelasan Bapak. Kami berdua sama-sama tahu, ke mana para gadis itu pergi. Akhirnya aku masuk ke dalam rumah, diikuti Daiki di belakangku. Bapak berjalan lebih dulu untuk ke sebuah kamar. Kamar bekas Ibu. Aku ingat ketika Ibu sakit, Ibu hanya berbaring di atas kasur itu. Kasur yang sangat tipis dibandingkan dengan kasur di rumah yang kutempati saat ini. Aku bisa membayangkan bagaimana rasa tidak nyaman yang Ibu rasakan ketika harus berbaring seharian di sana dalam kondisi sakit.

"Aman." Bapak berucap di kamar kosong itu, sambil menggeser lemari dengan tubuh kurusnya.

Di bawah lemari itu adalah lantai kayu. Sekilas aku tidak bisa melihat perbedaan di antaranya. Namun, jika diperhatikan lebih dekat lantai itu merupakan pintu. Bapak menarik lubang supaya pintu lantai itu terbuka. Mataku mulai berair ketika melihat Sriyati dan Anneke sedang berdiri berhimpitan di sana. Lubang yang tidak terlalu besar itu hanya muat menampung tubuh kurus Sriyati dan Anneke. Aku membayangkan dengan begitu sulit, bagaimana seandainya terjadi sesuatu pada Bapak? Bagaimana cara mereka keluar dari lemari yang kolongnya hanya sejengkal saja dari lantai?

"Mbak Kardiyah!" Adikku berseru riang begitu melihatku berdiri di depannya.

Sriyati keluar dari lubang dibantu oleh Daiki. Sementara, Anneke ditarik keluar oleh bapak.

"Kardiyah!" Anneke langsung memberiku pelukan. Meskipun ia lebih muda, ia sekarang lebih tinggi dariku. Tinggiku hanya sebatas telinganya saja. Bahu Anneke naik turun, aku bisa mendengar isakan tangisnya. "Aku kira kamu tidak selamat. Aku kira aku telah membunuhmu. Kamu tahu? Selama dua tahun, aku hidup dengan perasaan bersalah."

"Maaf karena tidak bisa memberi kabar, Nona."

"Aku bukan Nona-mu lagi. Aku berutang banyak pada keluargamu," ucap Anneke sambil melepas pelukan dan mengusap air mata.

"Mbak Kardiyah." Sriyati memanggil namaku dengan deretan air mata di wajah. "Sriyati kangen, Mbak."

Gantian, Sriyati yang memeluk diriku. Aku juga merindukan adik kecilku yang kini sudah beranjak remaja.

"Maaf tidak bisa melihatmu tumbuh. Maaf nggak menemanimu saat Ibu pergi."

Sri menggelengkan kepalanya. "Aku nggak papa, Mbak. Tapi Mbak ke mana selama dua tahun ini?"

Kulepaskan pelukan Sriyati, lalu kuusap air mata yang mengiringi pertemuan haru kami. "Aku diculik dan–"

Lihat selengkapnya