Juuni

Andin FN
Chapter #9

Keindahan Empat Musim

Daiki benar-benar mengajakku pergi menemui Nona Harumi. Ia sendiri yang memilih yukata yang akan aku pakai hari itu. Aku benar-benar gugup, tidak bisa membayangkan akan dikenalkan dengan Nona Harumi.

Perjalanan kami tidak memakan waktu lama. Yamada mengantar kami ke pusat kota. Daiki membantuku turun dan membawaku ke sebuah toko perabot. Mataku melebar dan sangat tertarik melihat perabot di toko. Meja dan kursi kayu dengan ukiran khas Jawa, yang akan terlihat cantik jika mengisi ruang tamu di rumah kami. Ada juga kursi goyang dari anyaman rotan yang terlihat nyaman jika diletakkan di sudut kamar. Ada juga cangkir-cangkir dan teko cantik khas londo seperti milik keluarga van Dijk. Tapi aku tidak mungkin membawa itu ke rumah. Daiki orang Nippon, ia tidak akan senang dengan barang peninggalan londo. Daiki juga lebih senang minum dengan cawan ketimbang cangkir.

"Aku ingin melihat-lihat," ucapku dengan penuh semangat.

Daiki menganggukkan kepalanya dan membiarkan aku menjelajahi perabot-perabot di sana. Mataku terus terpatri pada kursi anyaman rotan. Aku membayangkan dua kursi yang aku letakkan di sudut kamar. Aku dan Daiki bersenda gurau di kursi itu, ditemani teh hangat atau buku yang dibacakan oleh Daiki dengan suaranya yang menyenangkan.

"Tanaka-san. Ohayogozaimasu."

Tanaka? Nama belakang Daiki? Aku menoleh ketika mendengar suara lembut seorang wanita. Aku melihat seorang wanita berdiri di sana, dengan yukata indah berwarna merah dan corak bunga yang besar, obi yang berwarna putih tulang membalut pinggang rampingnya. Rambutnya berwarna kecokelatan mirip dengan warna bola matanya. Rambutnya digulung sangat rapi. Ketika tersenyum, aku bisa melihat giginya yang gingsul namun membuatnya terlihat manis. Ia berjalan melewatiku, aku bisa menghirup aroma yang sangat harum. Kulitnya yang kuning membuatnya terlihat sangat cantik.

Jadi ini Nona Harumi? Wanita seindah musim semi. Gila kalau Daiki tidak jatuh cinta padanya. Kecantikan Nona Harumi membuatku ingin berlari mundur saat itu juga.

Nona Harumi berkata sesuatu dengan Daiki menggunakan bahasa Nippon. Aku tidak tahu apa yang mereka katakan. Namun aku bisa melihat dengan jelas Daiki melirik ke arahku, lalu menyuruhku untuk mendekat dengan isyarat tangannya. Aku berusaha berjalan dengan anggun untuk ke arah Daiki. Begitu berdiri di samping Daiki, pria itu langsung menggenggam tanganku dan menautkan jemarinya di sela jemariku.

Aku bisa melihat bagaimana Nona Harumi melebarkan mata cokelatnya, terlihat terkejut. Ia menatap tautan tanganku dengan Daiki. Nona Harumi menunduk sedikit ke arah Daiki lalu kembali bicara bahasa Nippon. Aku yang tidak mengerti hanya menatap Daiki penuh tanda tanya. Apakah Nona Harumi berniat mundur dari pernikahannya? Namun, dari raut wajah Daiki yang terlihat kesal sepertinya tidak begitu.

Nona Harumi kembali melirikku lalu memberi senyuman. Bukannya senang, justru aku takut ketika mendapat senyuman wanita itu. Mengingatkan aku atas senyuman jahat Nona Sora. Bagaimanapun Nona Sora sudah mengendalikan hidupku selama dua tahun ini, dan itu tidak membuatku lupa begitu saja.

Nona Harumi berjalan dan mulai memilih perabot. Daiki bergeming di tempatnya, masih meremas telapak tanganku.

"Dia tetap mau menikah denganku, sekalipun sudah kujelaskan aku akan memiliki wanita lain di antara pernikahan kami," jelas Daiki. "Dia tetap mau menikah, walaupun aku sudah bilang hanya akan mencintaimu, Juuni."

"Ya sudahlah. Tidak apa, Daiki. Kalau tidak ada Nona Harumi, kamu juga akan memiliki wanita lain lagi nantinya untuk jadi istri. Lagipula Nona Harumi terlihat seperti wanita baik untuk dijadikan istri dan ibu dari anak-anakmu."

Daiki melepas genggaman tangannya dariku. "Sudah kubilang, Juuni. Aku hanya ingin anak darimu! Jangan berkata seperti itu lagi! Selamanya, yang cocok untuk jadi istri dan ibu dari anak-anakku, hanya kamu. Apakah kamu tidak mencintaiku sampai berkata seperti itu dengan mudahnya?"

Aku menghela napas panjang. "Bukannya aku tidak mencintaimu. Aku sungguh mencintaimu. Bahkan perasaanku saat melihat Nona Harumi datang, sulit dijelaskan. Aku cemburu. Aku tidak suka saat tahu ternyata wanita yang akan kamu nikahi begitu cantik dan membuatku merasa ingin mundur. Aku tahu aku bukan wanita cantik jika dibandingkan Nona Harumi yang seindah musim semi. Aku tahu, aku bukan wanita terhormat seperti Nona Harumi. Itu semua membuatku merasa sangat kecil dibanding dirinya. Aku juga tidak suka ketika dia bicara padamu dengan bahasa Nippon yang tidak aku mengerti, seakan kalian berdua terlalu jauh untuk aku gapai. Aku begitu marah, sedih, dan cemburu saat tahu wanita yang akan kamu nikahi jauh di atas nilaiku."

Aku mengambil napas sejenak sebelum melanjutkan ucapanku. "Aku mencintaimu, Daiki. Tapi kamu juga harus berpikir jernih. Aku dan kamu sulit bersatu. Bangsamu tidak menyukaiku untuk kamu jadikan istri. Bahkan, bapakku tidak menyukai hubungan kita. Tidak ada satu pun di dunia ini yang suka dengan hubungan kita, selain kita sendiri. Jadi aku mohon padamu, Daiki. Ini satu-satunya cara supaya aku bisa tetap di sisimu."

Daiki datang mendekat lalu membawaku ke dalam dekapannya. "Maaf karena membawamu ke sini, Juuni. Maaf karena tidak memikirkan perasaanmu saat bertemu dengan Harumi. Aku tidak ingin kamu mundur. Bagiku, kamu yang tercantik. Keindahanmu melebihi keindahan musim semi atau empat musim sekaligus. Maaf karena aku mengajakmu ke sini, padahal aku ingin membeli perabot untuk pernikahanku."

Aku menganggukkan kepala dalam pelukan Daiki. "Aku tidak masalah, Daiki. Memang rasanya tidak nyaman, tetapi aku bisa menahan rasa cemburuku ini. Yang aku tidak bisa tahan adalah kalau kamu meragukan cintaku padamu."

Pria itu melepas pelukannya lalu menatapku. "Maaf karena meragukanmu, Juuni."

Kuanggukkan kepalaku sekali lagi. Daiki merapikan helaian rambutku yang lepas dari gelungan dan menatanya dengan baik ke belakang telinga.

"Pulang dan beristirahat lah. Aku akan meminta Yamada untuk mengantarmu pulang. Aku tidak tega menahanmu dalam perasaan tidak nyaman."

"Tapi, Daiki–"

Belum sempat aku tuntaskan kalimatku, Daiki sudah memanggil Yamada untuk bergegas ke arah kami. Daiki bicara dalam bahasa Nippon, lalu menuntunku untuk naik ke dalam mobil. Sebenarnya aku tidak masalah jika harus ikut Daiki dan Harumi membeli perabot. Memang tidak nyaman, tetapi mengingat bahwa Daiki akan belanja bersama Nona Harumi berdua saja justru membuat perasaanku semakin tidak nyaman. Setidaknya aku harus percaya pada Daiki. Daiki sudah setia padaku selama dua tahun, aku tidak boleh meragukan cintanya hanya karena Nona Harumi datang di antara kami.

Dalam mobil, aku beberapa kali memergoki Yamada melirikku dari kaca di tengah mobil. Mungkin hanya perasaanku saja, aku mengabaikannya dan menatap jalanan dengan banyak dokar dan becak yang berteduh di bawah pohon randu, sepertinya sambil menunggu penumpang datang.

"Nona Juuni."

Aku menoleh ke arah Yamada yang akhirnya mulai bicara.

"Apa Nona ingin belajar bahasa kami? Maksudku, bahasa Nippon?"

Kukerutkan keningku dan menatap pria yang sedang menyetir itu. "Apa kamu punya saran guru yang bisa mengajariku?"

Yamada menggelengkan kepalanya. "Nona bisa belajar denganku."

Mataku membulat sempurna. "Benarkah? Apa imbalan yang harus aku berikan padamu? Aku tidak punya uang."

"Tidak perlu. Aku akan meluangkan waktu untuk mengajarimu, Nona."

Kumiringkan kepalaku dengan heran. Aku tidak punya keberanian untuk percaya bahwa pria itu tidak menginginkan sesuatu. Aku sudah hidup bersama Nippon selama dua tahun. Nona Sora selalu menginginkan sesuatu setelah memberi kebaikan padaku secara cuma-cuma. Apa Yamada kebetulan sebaik Daiki? Kuangkat dua bahuku, tidak mengerti.

"Kenapa tiba-tiba kamu mau mengajariku?"

"Maaf karena aku lancang. Tapi tadi aku mendengar perdebatan Nona dan Tuan Daiki, dan aku kasihan melihat Nona yang tidak mengerti bahasa kami. Setidaknya kalau Nona mau berperang dengan adil, bukankah harus mengerti bahasa Nona Harumi?"

Aku meledak tawa mendengar itu. "Kamu berlebihan Yamada. Aku tidak berperang. Laki-laki yang berperang, wanita tidak."

Yamada hanya tertawa kecil. Namun, tidak membalas perkataanku. Apa aku menginginkan itu? Perang yang adil dengan Harumi? Sepertinya iya. Pertandingan antara aku dan Harumi sudah tidak adil sejak awal. Harumi paling memahami selera dan kebiasaan Daiki, karena mereka dari bangsa yang sama. Setidaknya aku harus lebih memahami apa yang Daiki mau jika ia bergumam atau bicara menggunakan bahasa Nippon, aku tidak boleh kalah langkah.

"Baiklah, Yamada. Ayo ajari aku bahasamu."

~~~

Yamada keluar dari kamar dengan membawa setumpuk kertas dan beberapa buku. Aku sudah menunggu, duduk bersila di ruang tamu beralaskan tikar bambu. Di antara aku dan Yamada ada meja kayu yang menjadi pembatas. Pria itu mulai mengeluarkan satu bukunya. 

"Ini adalah buku kosa kata bahasaku yang sudah di terjemahkan ke bahasa Nona. Aku menggunakan buku ini sewaktu belajar bahasa Nona." Yamada menyerahkan buku tebal bersampul merah itu kepadaku.

Kubuka buku itu di halaman pertama. Mataku melebar. Ini sama halnya ketika Daiki membawakan aku buku cerita. Aku memang sudah bisa membaca dengan huruf A, B, C, dan sebagainya. Namun, buku yang diberikan Yamada ini berisi huruf-huruf yang sama sekali tidak aku mengerti. Aku merasa seperti buta huruf lagi, sama sekali tidak bisa membaca kosa katanya. Hanya membaca artiannya dalam bahasa Indonesia.

"Nona. Aku tahu apa yang Nona pikirkan. Tapi sebelum itu, Nona perlu belajar membaca huruf kami dulu. Huruf kami ada tiga macam yaitu Hiragana, Katakana, dan Kanji. Nona bisa belajar Hiragana dulu."

Kugaruk alisku. Sungguh, aku tidak mengerti sama sekali apa yang dikatakan Yamada. "Apa tadi? Hira, kata? Aku tidak mengerti, Yamada. Tolong bicara pelan-pelan."

Yamada tersenyum mendengar ucapanku.

"Kenapa kamu tersenyum?" Aku sedikit memberinya cibiran. "Kamu mengejekku?"

Pria itu berdehem. "Bukan, Nona. Hanya saja, aku baru pertama kali mengajar dan mendapat murid. Dan Nona sangat, maaf, lucu."

Aku menggelengkan kepalaku. "Lucu apanya? Ya sudah, ayo berikan aku contoh huruf-huruf apa tadi, hira, kata, atau apa pun itu."

Lagi-lagi, Yamada tersenyum. "Tidak perlu terburu-buru, Nona. Bagaimana kalau kita belajar percakapan saja? Setidaknya Nona bisa bercakap-cakap dalam bahasa kami. Tidak perlu langsung membaca."

Kuanggukkan kepala, setuju dengan pendapat Yamada. Tidak perlu langsung bisa membaca, setidaknya bisa mengerti apa yang Harumi dan Daiki bicarakan.

"Tunggu, Yamada. Selain bahasa, apakah kamu bisa mengajariku memakai sumpit? Aku kesulitan makan memakai benda itu." Kuembuskan napas panjang. "Ada banyak sekali hal yang perlu aku pelajari untuk mengambil hati Daiki."

Lihat selengkapnya