Juuni

Andin FN
Chapter #10

Kepercayaan yang Hilang

Hari pernikahan itu tiba. Setelah hampir dua bulan sejak kedatangan Nona Harumi, akhirnya pernikahan itu datang. Daiki menyuruhku untuk diam di rumah saja, ditemani oleh seorang pelayan yang akan pulang ketika petang dan Yamada yang sedang berada di kamarnya.

Tidak banyak hal yang aku kerjakan selama menunggu Daiki. Aku tidak tahu apakah pria itu akan pulang atau tidak. Aku tersenyum kecut setiap berpikir tentang kepulangannya. Sebentar lagi rumah ini bukan tempat Daiki untuk pulang. Sebentar lagi rumah Nona Harumi adalah tempatnya untuk pulang.

Selama satu bulan lebih ini, Daiki juga sangat sibuk di urusan pekerjaan dan persiapan pernikahan. Ia belum menyentuhku lagi sejak malam itu. Aku sering merindukannya. Merindukan bagaimana kami berjalan-jalan mengelilingi kota. Aku rindu dengan obrolan kecil kami sebelum kami tidur. Sekarang sungguh sulit, aku sering merasa lelah dan mengantuk ketika menunggu Daiki yang pulang sangat larut.

Sekarang aku hanya duduk di ruang tamu, membaca buku kosa kata Nippon yang diberikan oleh Yamada. Aku mulai bisa membacanya. Pria itu bersungguh-sungguh ketika mengajariku. Ia juga mengajariku tulisan hiragana, katakana, dan beberapa aksara kanji. Sungguh sulit menghafal huruf-huruf itu, apalagi dengan otak tumpulku yang tidak pernah sekolah. Kata Yamada, aku tidak perlu terburu-buru bisa membaca. Paling tidak aku bisa bercakap-cakap. Aku setuju dengannya. Dulu ketika aku belum bisa baca, aku juga bisa hidup hanya dengan bercakap-cakap.

Sekarang aku juga sudah mengerti ukiran di tanganku ini adalah tulisan kanji berarti dua belas. Kusentuh luka itu, mengingatkan aku dengan Sri dan Dorothy, kami punya luka yang sama. Apa aku pergi ke sana sekarang? Apa hatiku sudah siap? Cepat atau lambat aku juga akan menemui mereka bukan? Tidak tahu kenapa, tiba-tiba aku sangat merindukan mereka dan ingin bertemu hari ini juga.

Maka aku beranjak dari bantal dudukku dan mengetuk kamar Yamada. Pria itu membuka pintunya dengan mata mengantuk. Rambutnya berantakan seperti baru bangun tidur.

"Apakah aku mengganggu istirahatmu?"

"Tidak, Nona. Ada apa?"

"Bisakah kamu mengantarku ke markas batalion? Um, maksudku ke tempat Nona Sora."

"Untuk apa Nona ke sana?"

"Aku ingin bertemu teman-temanku."

Yamada menganggukkan kepalanya. "Tuan Daiki berpesan, kalau aku harus selalu mendampingi Nona Juuni saat pergi ke sana. Karena tidak tahu apa yang akan para tentara lain dan Nona Sora yang akan lakukan pada Nona Juuni."

"Baiklah. Aku akan bersiap lebih dulu."

Yamada menganggukkan kepalanya sekali lagi.

Aku pergi ke kamar dan melihat isi lemari. Sekarang sebagian besar isi lemariku berisi yukata dan beberapa kimono. Kuembuskan napas panjang, tidak mungkin aku pergi ke sana memakai yukata. Dorothy mungkin akan membunuhku jika aku memakai baju itu. Secara tidak langsung, aku mengkhianati mereka bukan? Aku hanya memiliki dua gaun selutut gaya londo, sebaiknya aku pakai itu saja. Aku pilih gaun warna abu-abu untuk hari itu, setidaknya tidak terlalu memberi kesan ceria di depan teman-temanku. Aku harus menjaga perasaan mereka.

Setelah bersiap, aku langsung pergi keluar rumah. Yamada sudah berdiri di samping mobil lalu ia menatapku dari atas sampai bawah. Kemudian ia mengalihkan pandangannya. Kukerutkan kening, apa ada yang salah?

"Kenapa kamu menatapku seperti itu? Apa menurutmu pakaianku terlalu berlebihan untuk pergi ke tempat Nona Sora?"

Yamada menggelengkan kepalanya. "Tidak, Nona. Hanya saja aku tidak terbiasa melihat Nona memakai baju selain yukata."

Kulihat tubuhku sendiri dari pantulan mobil. Memang dibanding yukata yang serba tertutup dari atas sampai bawah. Pakaian londo memang agak terbuka, contohnya baju yang kupakai dengan panjang selutut dan tanpa lengan. Setidaknya jari kakiku tertutup sepatu kali ini. Kalau biasanya aku mengenakan sandal jepit, kali ini aku memakai sepatu berwarna senada dengan gaunku.

Akhirnya kami berangkat menuju tempat Nona Sora. Tempat yang hanya membawa kenangan pahit padaku. Satu bulan lebih aku meninggalkan tempat itu dan meninggalkan teman-temanku. Aku merindukan Sri, Dorothy, dan juga Roku.

Sesampainya di sana, Nona Sora menyambutku. Oh, atau aku salah. Wanita itu menyambut Yamada. Aku sudah menduganya, Nona Sora memang sengaja menggoda Yamada, sejak pria itu menginjakkan kaki di sini. Lihat saja tingkah Nona Sora yang munafik itu. Bertingkah seolah wanita terhormat dan baik hati.

"Nona, aku ingin bertemu Juuichi, San, dan Roku."

Nona Sora melirikku sekilas lalu menyuruhku pergi dengan dagunya. Aku pun mengangguk dan berjalan masuk ke dalam. Yamada ingin mengekori langkahku, tetapi aku larang.

"Tunggu saja di sini," ucapku.

"Tapi, Nona. Tuan Daiki berpesan–"

Aku menggeleng lagi. "Aku tahu. Aku tahu. Aku hanya akan bertemu teman-temanku. Tidak akan ada kesulitan di dalam."

Kualihkan pandanganku ke Nona Sora. "Nona, bisakah kamu menyiapkan teh untuk Tuan Yamada?"

Nona Sora mendengkus sebal. "Ya, ya. Akan aku siapkan, Nona."

Aku menyeringai lebar. Dulu, wanita itu selalu bertindak semaunya dan kurang ajar padaku. Sekarang roda telah berputar. Aku bisa menyuruhnya ini dan itu.

Setelah melihat Nona Sora yang mendekati Yamada dan menyuruh pria itu untuk duduk dan bersantai, aku bisa masuk ke dalam. Kulewati lorong-lorong agak gelap itu.

Aroma lembab yang tidak enak, alkohol, dan juga rokok menyatu. Membuat kepalaku pusing dan mual. Dulu, aku bisa terbiasa menahan bau-bau ini. Sekarang hidungku terlalu manja, dan membuat tubuhku mual ketika menghirupnya.

Kututup mulutku dengan telapak tangan dan berlari kembali ke depan. Daripada aku harus berlari ke kamar mandi belakang yang masih agak jauh, lebih baik aku ke halaman depan. Kulewati Yamada dan Nona Sora yang sedang mengobrol di ruang tamu, dan tetap berlari ke halaman depan. Aku menundukkan tubuhku di dekat tanaman dan mengeluarkan semua isi perutku.

"Nona, kamu sakit?" Yamada yang tadi ada di ruang tamu, kini berada di sampingku.

Aku menggelengkan kepala. "Aku sedikit mual karena menghirup aroma tidak enak di dalam."

Aku melihat Nona Sora di balik punggung Yamada. Seperti biasa, wanita itu menatapku dengan pandangan jijik.

"Nona Sora, boleh aku bertemu tiga temanku di ruang tamu saja?"

Yamada ikut menoleh ke arah Nona Sora. Wanita itu melirik sekilas ke arah Yamada lalu menganggukkan kepala. Aku sangat yakin, kalau aku tidak pergi bersama Yamada pasti wanita itu akan menolak permintaanku. Nona Sora pergi meninggalkan kami untuk memanggil ketiga temanku.

"Nona Juuni, usap wajahmu pakai ini." Yamada memberikan aku sapu tangan berwarna putih tulang dengan ukiran namanya yang tercetak di pojoknya.

"Terima kasih, Yamada. Akan aku cuci dan aku kembalikan padamu nanti." Kuseka mulutku dengan sapu tangan milik Yamada, lalu kutaruh sapu tangan itu ke dalam tas.

Aku pun berjalan masuk kembali dan menunggu di ruang tamu. Ruangan itu masih sama persis seperti yang ada di ingatanku. Tak lama kemudian, Nona Sora kembali dan tiga orang temanku berjalan di belakangnya. Perasaanku campur aduk. Aku ingin segera menghampiri mereka dan memeluk mereka dengan erat. Namun, apakah mereka akan menerimaku begitu saja? Tidakkah mereka marah padaku karena pergi tanpa berpamitan?

"Juuni!" Sri dengan mata berkaca-kaca, berlari dan memelukku lebih dulu.

Diikuti oleh Dorothy dan juga Roku. Kami berempat saling berbagi pelukan. Aku sedikit lega, perasaan mereka padaku tidak berubah. Mereka masih menyayangiku seolah aku masih berarti di hidup mereka.

"Bodoh! Kenapa pergi tanpa berpamitan?" Sesuai dugaan, Dorothy menghinaku lebih dulu.

"Aku lega kamu baik-baik saja, Juuni," ujar Roku. "Saat itu kondisimu sangat buruk. Aku lega kamu sudah sembuh setelah dipukul berkali-kali."

"Juuni! Aku kaget ketika mendengar Tai-i baru adalah Tuan Daiki. Untung dia datang menyelamatkanmu," sahut Sri.

Aku senang mendengar kalimat-kalimat itu. Mereka tidak membenciku. "Maafkan aku. Aku memang bodoh karena tidak memberi kabar. Aku takut kalian akan membenciku karena berhasil keluar dari tempat ini sendirian."

"Tidak mungkin kami membencimu!"

Nona Sora pergi masuk ke dalam kamarnya. Raut wajahnya terlihat kesal dan mulutnya terus menggerutu dengan suara sangat pelan.

"Yamada, duduklah di salah satu kursi sana." Aku menunjuk meja bundar lain yang ada di ruangan itu.

Yamada mengangguk dan menurutiku. Ia duduk berbeda meja dengan kami.

"Bagaimana kabar kalian?" Kulebarkan mataku karena sangat penasaran dengan kabar teman-temanku ini.

Dorothy tertawa. Aku merindukan suara tawanya yang seperti orang gila. "Aku rasa Juuichi akan memacari salah satu tentara itu, sepertimu. Supaya bisa bebas dari sini."

Lihat selengkapnya