Juuni

Andin FN
Chapter #11

Sosok yang Sebenarnya

Aku beranjak dari kasur dengan sisa tenaga yang aku punya. Walaupun lututku terasa lemas dan tidak bisa menopang tubuh, aku tetap menyeretnya. Dengan berpegangan pada dinding dengan tanganku yang ringkih karena tidak ada tenaga, aku mencegah Daiki untuk keluar kamar. Kupeluk tubuh laki-laki itu dengan sekuat tenaga yang aku punya.

"Daiki. Aku mohon. Percaya padaku. Bukan dia. Bukan yang lain. Ini adalah anak kita."

"Lepaskan aku, Juuni. Kamu sendiri yang bilang waktu itu kamu tidak akan hamil karena masih ada khasiat suntikan dari Nona Sora. Tapi kamu sekarang hamil, Juuni. Jadi, jangan bohong. Anak itu bukan anakku."

"Aku juga tidak tahu, Daiki! Bisa saja obat Nona Sora tidak ampuh padaku. Ini anakmu, Daiki!"

Daiki mengempaskan tubuhku ke lantai dan membuka pintu kamar dengan cepat. Yamada yang berdiri di sana sejak tadi, mungkin mendengar percakapan kami. Dengan tatapan iba, Yamada melihatku yang sudah bersimpuh di lantai dengan uraian air mata.

"Nona Juuni," ucap pria itu dengan sangat pelan. Ia tersenyum kecil padaku dan mengangguk, seolah ia tahu apa yang akan terjadi padanya.

Daiki mendorong tubuh Yamada hingga pria itu terdesak ke dinding. Daiki menekan leher Yamada dengan siku kirinya. Sementara tangan kanan Daiki menodongkan pistol di dahi Yamada.

"Sudah berapa kali kamu lakukan itu bersama Juuni? Kenapa kamu mengkhianatiku? Kamu adalah orang kepercayaanku sejak aku di Priangan. Kenapa kamu mengkhianatiku, Yamada!"

Dua pria itu saling menatap dengan dingin. Yamada bergeming. Aku mengenal Yamada, ia tidak akan melawan tuannya sedikit pun. Yamada adalah orang yang santun, bahkan tidak pernah berani menatapku dengan lama.

"Aku tidak pernah mengkhianatimu, Tuan Daiki. Aku tidak pernah menyentuh Nona Juuni."

"Lalu kenapa Juuni bisa menyimpan sapu tanganmu? Katamu itu adalah sapu tangan pemberian orang yang kamu cintai di negara kita!"

Yamada hanya diam, tidak memberi penjelasan pada Daiki.

"Jawab, Bodoh!" Daiki menekan kunci pistolnya. Hatiku makin sakit melihat itu, satu tekanan pada pelatuk akan membuat nyawa Yamada melayang.

"Daiki, hentikan!" perintahku di tengah isak tangis yang sejak tadi tidak kunjung berhenti. "Yamada tidak bersalah. Aku juga tidak bersalah!"

"Diam kamu, Juuni! Aku bertanya pada bajingan ini!" teriak Daiki. "Sekarang jawab pertanyaanku, Yamada!"

"Aku sudah berjanji pada Nona Juuni tidak akan menceritakan itu."

Yamada bodoh. Dia tetap memegang janji kecilnya padaku untuk tidak menceritakan bahwa aku muntah ketika di tempat Nona Sora.

"Sapu tangan itu dia pinjamkan padaku karena hari itu aku muntah di tempat Nona Sora. Aku bahkan tidak tahu, Daiki. Aku tidak tahu kalau sapu tangan itu begitu berharga bagi Yamada. Sungguh. Hentikan sekarang juga. Jangan sampai kamu menyesal, Daiki," kataku. "Tanya Nona Sora jika kamu tidak percaya. Dia melihatku muntah di pekarangan depan dan Yamada memberiku sapu tangan untuk mengusap mulutku."

"Yamada tidak akan memberikan sapu tangan itu kalau kamu tidak berarti apa-apa baginya, Juuni!" Daiki membentakku.

Yamada tertawa kecil. "Bunuh saja aku, Tuan Daiki. Aku mengaku salah. Aku memang menyimpan perasaan untuk Nona Juuni, tapi aku tidak pernah menyentuhnya sedikit pun. Bunuh saja aku, Tuan Daiki."

Tangan kiri Daiki terkepal kuat dan semakin menekan leher Yamada. Lalu pria itu bergerak mundur. Ia mengacungkan pistolnya tepat di depan wajah Yamada. Dua detik kemudian, suara tembakan menggema di rumah itu. Kupejamkan mataku dengan erat dan kututup telingaku karena dengungan suara tembakan itu. Tubuhku bergetar hebat, tanpa bisa mengendalikannya.

Kubuka perlahan mataku. Yamada sudah tergeletak dengan posisi telungkup di lantai dan kepala penuh darah. Aku menatap Daiki yang berdiri di depan Yamada, kini ia menurunkan pistol dengan ujung yang sedikit berasap. Malam ini adalah malam pertama kalinya aku melihat sisi menyeramkan dari Daiki.

Daiki Tanaka. Pria yang selalu bersikap lembut padaku. Aku terlalu terbuai dengan segala ucapan dan perilakunya. Aku bodoh. Aku lupa. Daiki tetap tentara Nippon yang sudah mengambil banyak nyawa orang, bahkan sejak menginjakkan kakinya di tanah Borneo. Pasti nyawa Yamada yang baru saja habis di tangannya, tidak berarti apa-apa baginya. Aku terjebak. Aku sungguh lupa, bahwa aku tinggal bersama seorang pembunuh.

"Gugurkan kandunganmu, Juuni. Aku tidak akan mengusirmu. Selamanya kamu adalah milikku. Aku hanya tidak mau kamu mengandung anak Yamada."

Aku tidak menjawab. Tubuhku masih gemetar hebat. Kupeluk perutku dengan sangat erat. Anak ini adalah anaknya, bukan anak Yamada. Daiki tidak percaya padaku. Rasa cemburu Daiki melebihi rasa percayanya padaku.

Bagaimana bisa sekarang Daiki bersikap tenang seolah tidak terjadi apa-apa, padahal ada mayat Yamada di depannya yang masih mengeluarkan darah segar. Masih kupegangi perutku. Apa aku sanggup kehilangan bayi ini?

Daiki langsung pergi meninggalkan rumah ini. Aku melihat punggungnya menjauh sampai terdengar suara pintu depan ditutup. Pria itu meninggalkan aku di sini begitu saja bersama Yamada yang telah meninggal. Aku hanya meringkuk di lantai kamar yang dingin, menangisi nasibku yang begitu sial.

Tak lama dari kepergian Daiki, dua orang tentara lain datang untuk mengangkut mayat Yamada, tidak tahu dibawa ke mana. Dan seseorang lainnya juga datang membersihkan lantai dan percikan darah yang tercetak di mana-mana.

Ini karmaku. Aku tidak bisa menyalahkan siapa pun selain diriku sendiri. Aku begitu terlena dengan kenikmatan yang diberikan Daiki. Aku hanyalah seorang yang bodoh karena lebih memilih kenikmatan yang hanya bersifat sementara. Ini karma yang harus aku terima. Ini akibat dari dosaku karena durhaka kepada Bapak dan Ibu. Ini akibat dari mengkhianati bangsaku.

Aku masih meringkuk dengan banyak air mata yang keluar di lantai yang dingin. Tidak ada yang menolongku. Bahkan untuk naik ke atas kasur saja, aku tidak sanggup. Aku masih terus berpikir. Ke mana perginya Kardiyah yang berani menusuk tentara dengan tusuk konde? Ke mana diriku yang berani bersumpah untuk tidak mau mengandung anak salah satu tentara itu? Justru sekarang, aku yang secara sukarela menyodorkan diri pada Daiki dan rela mengandung anaknya. Ke mana keberanianku yang berani meludahi wajah tentara bajingan itu? Ke mana Kardiyah yang rela dipukuli Nona Sora demi menolong Roku yang terlihat kesakitan?

Tanpa aku sadari, Kardiyah perlahan menghilang. Aku termakan rayuan Daiki. Kardiyah sudah mati, sekarang hanya ada Juuni yang lemah. Juuni yang hanya bisa menangis ketika melihat nyawa temannya dalam bahaya malam itu. Juuni yang hanya bisa meringkuk lemah, dan tidak bertanya di mana Yamada akan dimakamkan.

Aku bodoh. Aku kecewa dengan diriku sendiri. Aku memang bebas dari Nona Sora, tapi aku dengan sukahati masuk ke kandang yang sama buasnya. Kini aku terjebak di penjara Daiki sendirian. Hidupku menjadi miliknya. Aku harus menurut apa yang dikatakan Daiki. Aku baru menyadari sesuatu. Ke mana pun aku pergi, aku tidak pernah bebas.

Seharusnya aku berhenti ketika Daiki menolak permintaanku untuk membebaskan tiga temanku. Seharusnya aku memilih bersama tiga temanku daripada dibawa pergi oleh Daiki dari tempat Nona Sora. Sekarang semua itu hanyalah tersisa penyesalan. Nasi telah berubah menjadi bubur. Aku tidak bisa memutar waktu mundur. Aku hanya bisa di sini, menghadapi dua pilihan. Pertahankan bayi ini atau gugurkan bayi ini.

Matahari sudah terbit. Rumahku sudah bersih kembali, seolah tidak ada pembunuhan tadi malam. Daiki belum menunjukkan dirinya lagi di sini. Tidak tahu ke mana. Mungkin, sedang mabuk-mabukan atau menyalurkan nafsu liar pada istri barunya. Aku merasa tidak mengenal sosok Daiki yang sekarang. Dia sudah berubah, atau dari awal ia hanya menyembunyikan sifat aslinya.

"Juuni-san."

Aku bisa mendengar suara memanggilku. Tubuhku sangat lemas sampai terasa kaku. Aku tidak bisa bergerak.

"Juuni-san!"

Suara wanita itu semakin nyaring. Aku tidak mengenali siapa pemilik suara itu. Pelayan di rumah ini tidak memanggilku seperti itu.

"Juuni-san! Daijobu desu ka?"

(Apa kamu baik-baik saja?)

Suara itu sangat dekat. Orang itu sudah masuk ke kamar ini. Kulirik siapa yang datang. Perempuan itu, Nona Harumi. Ia datang sedikit berlari dengan pakaian yukata indahnya, menghampiriku. Ia berusaha membantuku untuk berdiri. Tubuhku masih tidak berdaya. Aku tidak bisa berdiri sendiri tanpa bantuannya.

"Kamu demam. Aku akan membawamu ke rumah sakit," ucapnya dalam bahasa Nippon.

Karena Yamada, aku bisa mengerti apa yang Nona Harumi katakan. Sekarang orang itu sudah tiada, dan itu karena aku. Aku yang membuat Yamada mati di tangan Daiki.

Nona Harumi menuntunku keluar. Di luar ada mobil dengan seorang supir. Nona Harumi membawaku masuk ke dalam mobil. Aku sudah tidak ada tenaga untuk melawan. Pikiranku sudah tidak sehat. Aku sudah tidak tahu lagi, apakah Nona Harumi akan benar membawaku ke rumah sakit atau tempat jagal sekalipun. Aku tidak peduli.

"Aku sudah mendengar dari tentara lain. Yamada tewas tadi malam. Jangan salahkan dirimu, Juuni-san. Daiki memang tidak akur dengan Yamada sejak awal. Aku mengenal keduanya sejak di Priangan."

Kata-kata berbahasa Nippon yang keluar dari mulut Nona Harumi membuatku tertarik di setengah kesadaranku.

"Tadinya Yamada adalah calon kuat Tai-i di daerah Priangan. Namun, Daiki tiba-tiba datang bersama Taisa. Keduanya bersaing ketat. Aku tidak tahu bagaimana penilaiannya, tiba-tiba Daiki yang diangkat menjadi Tai-i. Lalu Daiki mengangkat Yamada menjadi asistennya. Yamada tidak pernah diberi tugas di markas sejak saat itu. Yamada hanya disuruh membaca tumpukan buku berbahasa Indonesia. Mau tidak mau, Yamada harus menguasai bahasa itu karena tugas dari Tai-i."

Nona Harumi terus mengoceh menggunakan bahasa Nippon. Bukankah Nona Harumi menyukai Daiki? Bukankah seharusnya ia membenciku? Kenapa sekarang ia membantuku? Aku tidak mengerti sama sekali dengan apa yang terjadi saat ini. Hidupku juga terasa berubah dalam satu malam saja. Daiki yang aku kenal selama ini, sangat berbeda dari Daiki yang diceritakan oleh Nona Harumi.

"Juuni-san, jangan salah paham. Aku tidak mencintai Daiki. Daiki juga tidak mencintaiku. Dia tidak memperlakukan aku seperti istri. Tiga hari di rumahku, ia hanya membicarakan bisnis dengan Taisa dan ayahku. Aku juga dipaksa oleh ayahku untuk menikahinya, meskipun ayahku terlihat kurang menyukai Daiki. Itu semua karena Daiki dekat dengan Taisa, dan Taisa dekat dengan Chujo. Ini semua murni pernikahan karena urusan politik. Ayahku hanya ingin bisnisnya berjalan lancar di sini dan di wilayah Asia Tenggara."

Lihat selengkapnya