1945 M.
Wajah Yamada yang tersenyum dan memberikan anggukan singkat, seolah tahu dia akan mati hari itu. Dokter yang mengambil bayiku dengan spatula seolah sangat mudah, seperti seorang tukang masak yang mengangkat makanan dari atas kompor. Terlihat mengerikan.
Kubuka mataku secepat kilat. Dadaku naik turun. Jantungku berdetak tidak karuan. Keringat sudah membanjiri tubuh dan kasurku. Air mataku juga masih mengalir, walaupun aku sudah terbangun dari mimpi itu. Ingatan tentang hari kematian Yamada dan hari aku kehilangan bayiku masih terus menghantui malamku. Padahal itu sudah terjadi satu tahun lalu. Mimpi itu terus datang.
"Juuni. Kamu bermimpi buruk lagi?"
Kuusap air mataku dengan punggung tangan. Daiki ikut terbangun karena mimpi burukku. Ini tidak adil. Seharusnya tragedi hari itu juga menghantui tidur Daiki, tetapi di sini hanya aku yang masih terus mengingat kejadian itu. Daiki masih bisa tidur nyenyak setiap hari, seolah kejadian malam itu tidak ada arti apa-apa baginya.
"Apa kamu mau bicara dengan dokter? Supaya mimpi itu pergi," usulnya.
Aku menggelengkan kepala. "Aku tidak gila, Daiki."
Selain alasan tidak gila. Aku juga tidak ingin melupakan kejadian mengerikan itu. Kejadian itu akan menjadi pengingat selamanya untukku supaya terus berhati-hati dengan Daiki. Walaupun aku sudah memaafkan pria itu, aku tidak ingin kejadian itu kembali terulang. Aku tidak ingin diriku ini menjadi alasan Daiki membunuh orang.
"Aku tahu, Juuni. Maafkan aku. Hanya saja aku tidak tega melihatmu bermimpi buruk hampir setiap malam," ucapnya.
Mimpi-mimpi buruk itu datang menghantuiku karena aku selalu diselubungi rasa takut. Aku takut, karma buruk apalagi yang menunggu untuk datang menghampiri kami.
"Ini karma, Daiki. Seharusnya kita tidak pernah bertemu. Seharusnya aku tidak berlari ke ladang tebu hari itu. Dengan begitu semua akan baik-baik saja."
"Juuni, tenanglah. Apa maksudmu? Aku tidak pernah menyesali hari pertama kali kita bertemu. Kebahagiaanku ada padamu. Begini saja, apa kamu mau berjalan-jalan denganku besok?"
"Bukankah besok malam ada acara pesta?"
Daiki menganggukkan kepalanya.
"Kamu mengajakku pergi ke pesta?" Jujur aku terkejut. Daiki tidak pernah mengajakku ke pesta. Istri Daiki adalah Nona Harumi. Di setiap pesta, Daiki selalu mengajak Nona Harumi sebagai istrinya. Tidak pernah aku diajaknya ke pesta. Bukannya aku iri dengan Nona Harumi, hanya saja aku sadar posisiku di sini. Aku hanya seorang gundik.
"Tidak. Bukan ke pesta. Kita pergi saat siang hari. Aku akan mengajakmu jalan-jalan di pusat kota. Belilah pakaian dan perhiasan yang kamu mau."
Sesuai dugaan. Tidak mungkin aku pergi ke pesta. Kuberikan anggukan atas ajakan itu. Terserah saja aku akan diajak pergi ke mana. Aku akan menurut saja.
~~~
Aku sudah memakai yukata berwarna hijau dan obi berwarna kuning untuk pergi hari ini. Daiki masih berada di kamar mandi. Ketika pelayan sedang membantuku menggelung rambut, seorang mengetuk pintu kamar kami.
"Ada pesan," ucap orang yang mengetuk dalam bahasa Nippon. Aku mengenal suara itu, dia adalah tentara yang bertugas menjaga di rumah kami hari ini.
"Sumi." Kupanggil nama pelayanku yang empat tahun lebih muda dariku itu.
Sumi pelayan baru di rumah kami. Pelayan yang tidak pulang saat petang, tetapi menginap selalu di rumah kami. Aku sangat senang ketika Daiki mengajak Sumi datang. Setidaknya aku tidak merasa sepi, aku punya teman bicara.
Daiki menemukan Sumi ketika gadis itu sedang menjadi pengemis di pasar. Sumi adalah gadis setengah Jawa, setengah Madura. Bapaknya telah meninggal karena romusha, sementara ibunya juga telah meninggal karena sakit. Sumi menumpang seorang pedagang yang ingin mengantar barang dari Madura ke Surabaya. Namun, ketika sampai di Surabaya, ia tidak kunjung menemukan pekerjaan. Sehingga ia mengemis lalu Daiki menemukannya.
Aku hentikan tangan Sumi yang bergerak menyisiri rambut panjangku. "Tolong, ambil pesan dari orang di depan kamar."
"Njih, Nyai."
Sumi berjalan cepat lalu membuka pintu. Tentara bermata sipit di sana memberikan selembar kertas pada Sumi, lalu gadis itu menyerahkannya padaku. Aku tidak membuka kertas itu. Aku tahu batasan. Surat yang datang ke rumah adalah urusan pekerjaan Daiki, dan aku tidak berhak ikut campur.
Setelah Sumi selesai menggelung rambutku, ia kembali ke belakang untuk menyetrika baju katanya. Aku menganggukkan kepala. Tak lama dari itu, Daiki masuk ke dalam kamar. Aroma harum sabun masuk ke dalam hidungku. Masih ada sisa air yang membuat rambutnya basah. Daiki tersenyum, lalu berjalan mendekat padaku.
Pria itu mengecup pipiku sambil berbisik, "Cantik sekali kamu, Juuni."
Aku hanya tersenyum singkat, lalu teringat dengan surat yang datang tadi. "Ada surat untukmu. Di atas meja rias."
Daiki mengangguk dan mengambil surat itu. Matanya membesar dan alisnya hampir menyatu saat membacanya. Pesan apa sampai ia terkejut seperti itu?
"Juuni. Maafkan aku. Sepertinya aku harus membatalkan perjalanan kita siang ini. Aku harus segera ke markas. Kota Hiroshima di bom. Taisa menyuruhku untuk mengumpulkan pasukan dan menjaga kota karena takut ada pemberontakan."
Keningku ikut berkerut. Aku seperti pernah mendengar nama kota itu. Kucoba mengingatnya, tetapi tidak ada satu pun yang terlintas di kepalaku.
"Hiroshima?"
Daiki mengangguk dengan raut wajah paniknya. "Pusat militer kami."
"Apakah itu buruk?"
Daiki menggeleng dan tersenyum. "Tidak perlu khawatir, Juuni. Tidak semudah itu merobohkan bangsaku. Istirahatlah hari ini."
"Karena aku sudah terlanjur siap. Apa aku boleh mengajak Sumi untuk pergi? Kasihan dia, mungkin tidak pernah belanja di pusat kota."
"Tentu saja boleh. Belikan dia sepasang kebaya. Kebayanya terlihat lusuh."
Kuanggukan kepala. Sumi selalu membuatku teringat pada diriku yang dulu. Kebaya lusuh dengan banyak tambalan di sana sini. Aku sudah tidak pernah lagi mengenakan kebaya, sejak tentara Nippon menculikku. Saat pindah ke rumah ini, aku juga selalu memakai yukata ke mana pun aku pergi. Daiki tidak mengizinkan aku memakai kebaya.
Setelah Daiki pergi, aku dan Sumi berangkat ke pusat kota bersama tentara yang bertugas untuk menjagaku. Aku tidak tahu, apakah sekarang adalah waktu yang tepat untuk belanja atau tidak. Hanya saja pikiranku suntuk dan aku perlu hiburan. Setelah membeli dua kebaya untuk Sumi, aku juga mengajak Sumi pergi ke pertunjukan teater, meskipun tentara itu tetap mengekori kami.
Teater di negara kami tidak bebas, aku sudah tahu sejak saat Daiki mengajakku ke teater saat pertama kali. Orang-orang Nippon mengawasi segala skenario yang akan muncul di teater, tidak boleh ada unsur yang akan mengundang gejolak perlawanan dan kemerdekaan. Saat itu aku tidak begitu mengerti dan tidak begitu peduli, sekarang aku sadar itu adalah siasat yang licik. Seharusnya para seniman ini bebas berkreasi. Jika seni saja dibatasi, akan jadi apa dunia ini?
Malam itu, Daiki tidak pulang. Tidak ada pesan untukku. Mungkin ia menginap di tempat Nona Harumi, atau dia bermalam di markas. Meskipun Daiki berkata tidak perlu khawatir, tetapi aku punya firasat akan hal ini. Bagaimana kalau bangsa Daiki kalah berperang dan Indonesia kembali pada pihak sekutu? Apa Daiki akan mati dibunuh oleh tentara londo sama saat Nippon yang datang membantai tentara londo. Jika Daiki mati, apa yang akan terjadi padaku? Apa aku akan kembali menjadi babu londo?
Jika memang orang-orang Eropa itu kembali menguasai, Dorothy dan Anneke pasti senang dengan kabar itu. Anneke sudah pasti tidak mau menolongku karena aku sudah ia anggap sebagai pengkhianat. Bagaimana dengan Dorothy? Apa dia akan menolongku?
Kuembuskan napas panjang. Kenapa aku tidak berani berdiri di atas kakiku sendiri? Seharusnya aku tidak perlu mengandalkan pertolongan mereka. Seharusnya aku bisa pergi bebas berkelana dengan kakiku sendiri. Tinggal di desa, membantu berkebun, atau berjualan di pasar. Seharusnya aku tidak perlu takut. Tapi aku Juuni yang sudah menggantung hidup pada Daiki selama ini, aku tidak yakin apakah aku bisa berdiri sendiri tanpa Daiki di sisiku.