Juuni

Andin FN
Chapter #13

Kemerdekaan, Kebebasan

Daiki sudah dimakamkan. Pria itu sudah menyatu dengan tanah. Aku berduka. Dua hari ini aku hanya berada di kamar, menghirup aroma yang tersisa dari Daiki di atas kursi rotan dan pakaian seragamnya yang kupeluk erat.

Hari Sabtu malam itu, Sumi memutar radio. Gadis itu berusaha menghiburku di kamar dengan memutar radio. Penyiar itu terus bicara, sampai aku mendengar bahasa daerah yang aku kurang mengerti. Penyiar berkoar sesuatu dengan nada penuh semangat.

Sumi berjalan mendekatiku dan berbisik, "Nyai. Kita telah merdeka. Kita bebas. Baru saja informasi proklamasi yang telah dikumandangkan kemarin di Jakarta. Kita bersatu di bawah nama Republik Indonesia. Mereka bicara dengan bahasa Madura, Nyai. Takut tersiar sampai ke telinga Nippon."

Informasi dari Sumi membuat hatiku bergetar. Republik Indonesia. Kita telah merdeka. Kebebasan ada di depan mata. Aku sedang berduka, tapi aku juga bahagia dengan kemerdekaan bangsa kami.

"Sumi. Benarkah kita telah merdeka?"

Sumi tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

Air mataku sedikit menetes. Hidupku sudah sangat berliku beberapa tahun ini. Aku mengalami semuanya. Tinggal bersama londo, hidup sebagai pelacur Jepang, sampai tinggal bersama Daiki.

"Sumi, ayo kita pergi besok. Melihat sekeliling dan merasakan kebahagiaan bangsa kita."

"Njih, nyai."

Bagaimanapun aku bagian dari bangsa ini. Sudah sepantasnya aku merasa terhibur. Siapa tahu jika aku keluar rumah, aku bisa sedikit melupakan rasa dukaku. Aku tidak ingin melupakan Daiki, tapi aku ingin melupakan dukaku. Aku harus bangkit bersama bangsa ini yang juga bangkit.

Keesokannya, aku dan Sumi bersiap pergi. Sudah tidak ada lagi tentara yang berjaga di rumah kami sejak pemakaman Daiki. Namun, rumah Daiki tetap bisa aku tinggali bersama Sumi. Aku cukup bersyukur untuk itu. Uang Daiki yang tersimpan dalam peti di dalam kamar juga bisa aku gunakan untuk hidup setidaknya setengah tahun ke depan.

Kulihat tumpukan yukata di dalam lemari. Aku tidak ingin memakai pakaian itu. Nippon telah jatuh, dan Republik Indonesia telah bangkit. Aku memilih untuk memakai gaun seperti wanita londo, warna oranye berlengan pendek selutut. Aku bungkus beberapa kimono dari lemari yang terlihat bernilai untuk aku jual. Aku juga harus membeli beberapa kebaya nanti untuk aku pakai sehari-hari.

Kami menyewa dokar untuk ke pusat kota. Sepanjang jalan kami tidak lagi melihat banyak tentara Nippon yang berjaga, hanya ada beberapa. Terhitung sedikit jika dibandingkan bulan-bulan lalu. Sepertinya tentara Nippon benar-benar malu untuk menunjukkan wajah ke rakyat kami.

Sekalipun mereka bersenjata, mereka telah kalah berperang. Komando pusat pun menyatakan mereka akan menyerah kepada sekutu. Daiki juga berbincang dengan kawannya waktu itu, supaya terus berjaga supaya pemuda tidak mendengar berita menyerahnya Nippon. Namun, semua sia-sia. Pemuda Indonesia tetap mengumandangkan proklamasi tanda kemerdekaan.

Setelah sampai di pusat kota, aku dan Sumi turun dari dokar. Sumi membawa satu tas kain berisi kimono yang akan aku jual. Setelah berkeliling ke toko-toko pakaian bekas, tidak ada satu pun yang ingin membeli kimono milikku.

"Barang Nippon sudah tidak bernilai."

"Aku tidak akan membeli barang Nippon. Kita sudah menjadi Republik Indonesia. Orang Nippon pergi saja."

"Aku tidak bisa menjual lagi barang Nippon. Sekalipun itu dari sutra."

Begitulah penolakan-penolakan yang aku dengar. Sampai aku tiba di toko lain dan ada dua pria berdarah jawa yang menghampiriku. Satu pria berambut panjang yang diikat. Satu pria lainnya berjenggot tipis.

"Mau belanja baju?" tanya pria rambut panjang.

Aku memggeleng. "Aku ingin menjual pakaian berbahan sutra."

Kutoleh ke arah Sumi. Gadis itu mengangkat tas ke atas meja. Sementara, pria penjual baju itu membuka tas yang kami bawa.

"Pakaian Nippon?" tanya pria rambut panjang itu lagi. Ia melihat pakaianku dan wajahku bergantian. "Aku kira orang Jawa, ternyata orang Nippon."

"Sundal Nippon," sahut pria penjual lainnya. "Lihat saja tanda di tangannya itu. Itu tanda sundal Nippon."

Aku melihat tatapan pria berjenggot tipis itu ke arah tanganku. Ukiran dengan arti dua belas. Segera aku tutupi bekas luka itu dengan tangan lain.

"Kalau nggak mau beli pakaian Nyai, nggak usah menghina," ucap Sumi dengan nada kesal. "Ayo Nyai kita pergi dari sini."

Dua pria itu menertawakan langkah kami yang ingin beranjak pergi.

Kuembuskan napas panjang. Apa arti merdeka sebenarnya? Kenapa aku masih diperlakukan seperti orang yang sangat hina? Aku tidak pernah ingin menjadi budak seks tentara itu. Bagaimana bisa sikap manusia berubah-ubah begitu mudahnya? Ketika Nippon masih menguasai Indonesia, para penjual itu bersikap ramah padaku dan Daiki. Namun, ketika Nippon kalah, mereka langsung menganggapku perempuan hina. Aku adalah bagian dari rakyat Republik Indonesia, kenapa mereka merendahkan aku sampai seperti itu?

"Nyai, biar aku saja yang menjual ini. Lebih baik Nyai pulang dan istirahat."

Aku menggeleng. "Tidak, Sumi. Aku harus tahan dengan ocehan mereka. Yang mereka katakan tidak salah, aku pernah menjadi budak seks tentara Nippon selama dua tahun, sebelum Daiki membawaku pergi."

"Tapi, Nyai–"

"Tidak apa, Sumi. Ayo kita cari toko lain."

Sumi mengangguk dan mengikuti langkahku. Kami berhenti di toko lain. Kali ini toko dengan penjual turunan Tionghoa.

"Biar aku saja yang masuk, Nyai. Aku punya cara," ujar Sumi.

Aku mengangguk dan menunggu di depan toko. Tidak lama aku menunggu, Sumi sudah kembali dengan beberapa lembar uang.

"Nyai, Nyonya itu mau membeli pakaiannya."

Aku bernapas lega. Akhirnya pakaian itu bisa terjual juga. "Bagaimana kamu bisa menjual pakaian itu?"

Sumi terkekeh. "Aku bilang itu punya majikanku yang sudah kembali ke negaranya. Dan aku butuh uang buat makan. Kalau Nyai yang masuk, mereka tidak akan percaya. Pakaian Nyai terlalu bagus untuk menjual pakaian ini. Mereka pasti tahu kalau Nyai adalah pemilik pakaian ini."

"Terima kasih, Sumi. Ayo kita pergi membeli beberapa pakaian. Aku juga akan membelikanmu kebaya baru."

Sumi menggelengkan kepala. "Tidak perlu, Nyai. Dua kebaya yang Nyai belikan tempo hari juga masih bisa kupakai."

"Kubelikan satu lagi sebagai ucapan terima kasih."

Sumi menggaruk belakang lehernya. "Kalau boleh, beli tusuk konde saja boleh? Tusuk kondeku sudah nyaris patah karena tertindih tubuhku saat tidur."

Kulirik tusuk konde kayu yang dibuat untuk menggelung rambut Sumi. Tusuk konde yang terbuat dari kayu. Sebaiknya aku belikan yang terbuat dari kuningan, supaya bisa dipakai lebih lama.

Aku berikan senyuman untuk gadis itu. "Tentu. Satu kebaya dan satu tusuk konde."

~~~

"Presiden Sukarno membentuk BKR. Badan Keamanan Rakyat."

Kubaca judul utama koran pagi itu. Ini sudah beberapa hari setelah Republik Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Aku harap kondisi negeri ini akan jauh lebih baik dengan adanya BKR.

"Nyai, aku izin untuk pergi ke pasar."

Aku menyesap teh dalam cawan lalu mengangguk. "Eh, tunggu Sumi. Aku akan ikut."

Aku beranjak dari kursi dan menarik ujung kebayaku. Kemudian aku berjalan bersama Sumi. Pasar tidak terlalu jauh dari rumahku. Bisa berjalan kaki. Dulu aku pernah pergi ke pasar beberapa kali bersama Daiki.

Sumi membawa tas belanjanya di tangan kanan. Gadis itu selalu berjalan satu langkah di belakangku. Meskipun aku sudah berusaha sejajar dengannya, tapi Sumi selalu mundur lagi satu langkah.

"Sumi, jalan saja di sisiku. Jangan di belakang."

"Saya nggak berani, Nyai."

Kuembuskan napas perlahan. "Aku juga sudah bukan seorang Nyai, Sumi. Daiki telah tiada. Ayo anggap saja aku ini mbakyumu."

"Mboten, Nyai. Lebih nyaman begini."

Lihat selengkapnya