Juuni

Andin FN
Chapter #14

Aku adalah Kardiyah

"Sumi, ayo kita pergi dari sini." 

Sumi mengangguk. "Gimana, Nyai? Apakah ada titik terang?"

Aku menggelengkan kepala lalu berjalan keluar kantor desa. Sumi membuntuti di belakang.

"Kepala desa mengarahkan kita untuk menemui Tuan Haryono, seorang BKR yang rumahnya tidak jauh dari sini." 

"Seorang BKR? Untuk apa?" 

Kuangkat kedua bahuku dan mulai berjalan ke arah barat. "Katanya dia bisa membantu kita untuk dibawa ke Badan Penolong Keluarga Korban Perang." 

Sumi menganggukkan kepalanya.

Sejujurnya ada sedikit kekhawatiran di sini. Bagaimana kalau tentara BKR itu mengingkan bukti bahwa aku adalah keluarga dari korban perang. Kuembuskan napas panjang. Aku adalah gundik, bukan istri Daiki. Belum lagi aku gundik seorang Nippon. Daiki juga meninggal bukan karena berperang, tetapi karena bunuh diri. Apakah benar mereka bisa menolongku? 

"Apa yang Nyai pikirkan?" 

Aku menggeleng. "Tidak ada. Hanya saja, aku berharap tuan yang bernama Haryono itu benar-benar bisa membantu kita." 

Aku tidak begitu mempermasalahkan segala hinaan yang aku terima dari masyarakat. Aku tidak peduli. Hanya saja, kalau sampai rumah tempat kami tinggal itu diambil, aku tidak bisa tinggal diam begitu saja. Aku harus melakukan sesuatu. Aku dan Sumi harus hidup.

Akhirnya aku bisa menemukan rumah dengan tiga pilar berwarna putih yang dimaksud oleh kepala desa. Benar kata pria berpeci itu, rumah ini mudah dikenali dengan tiga pilar yang berada didepannya. Rumah itu tidak terlalu besar. Halamannya yang kecil ditumbuhi rumput liar yang pendek. Aku melihat nama Haryono terukir di atas pintu masuk.

"Ini rumahnya." Aku mulai melangkah masuk dan mengetuk pintu rumah itu.

Tidak ada yang menyahuti dari dalam.

"Permisi." Aku mengetuk tiga kali pintu kayu berwarna cokelat itu. "Tuan Haryono. Permisi."

Masih tidak ada yang menyahuti dari dalam.

"Sepertinya tidak ada orang, Nyai."

Aku mengangguk setuju atas pernyataan Sumi. Waktu kami tidak banyak sebelum diusir warga. Aku harus bertemu dengan Tuan Haryono.

"Sumi, kamu pulang saja dulu naik dokar. Aku akan menunggu di sini. Waktu kita hanya tersisa dua hari. Aku harus menemui tuan itu hari ini."

"Mboten, Nyai. Kita bisa kembali besok bersama-sama."

Aku meremas jemari-jemari tanganku. Kalau tuan itu tidak ada juga besok di rumah bagaimana? Aku harus berusaha menunggu hari ini. Setidaknya aku harus berjuang untuk hidup kami.

"Nona Juuni?"

Aku mengenal suara pria yang memanggil namaku itu. Aku dan Sumi menoleh serentak ke arah halaman depan. Pria dengan tahi lalat di pipi kirinya, yang kerap kali keluar masuk rumahku untuk berjaga. Saksi mata kematian Daiki selain aku.

"Ryo-san?" 

Pria itu menatapku dengan kerutan kening, lalu membungkuk sempurna. Aku juga turut membungkuk untuk menyapa Ryo.

"Apa yang Nona lakukan di rumahku? Dari mana Nona tahu rumahku?" 

Mataku mengedip cepat dan mulutku setengah terbuka. "Rumahmu? Ini rumahmu? Maaf, aku salah alamat."

Aku segera beranjak untuk pergi dari rumah itu. Sumi juga mengikutiku di belakang.

"Bagaimana kabar Nona?" tanya Ryo ketika jarak kami tinggal tiga jengkal saja.

Aku mengangguk sedikit. "Baik. Bagaimana denganmu?"

"Aku juga baik, Nona. Apa Nona mau mampir dulu ke rumahku untuk minum teh?"

"Tidak. Terima kasih." Aku maju dua langkah untuk pergi, kemudian berbalik dan menatap Ryo. "Apakah kamu tahu rumah seorang BKR bernama Haryono?"

Ryo tersenyum dan mengangguk. "Aku adalah Haryono, Nona."

Mulutku kembali membuka lebar. Dua kali aku mendapat kejutan dari pria itu. "Bagaimana kamu bisa menjadi Haryono, Ryo-san?"

Lihat selengkapnya