Juwita

Ersi Safitri
Chapter #1

#1

Setiap mataku terbuka, setiap sudut pandang, sejauh mata memandang, aku selalu melihat dia. Di setiap mataku tertutup, diselimuti oleh kegelapan malam, aku selalu memikirkannya. Juwita, gadis manis tembus pandang yang terikat oleh SMA Nusa Bangsa, Bandung. Aku ingat rambut hitam pekat nya yang terurai sepinggang, dan bagaimana mereka menari-nari tertiup angin. Matanya yang selalu melihat ke arahku dengan tatapan paling menyejukkan yang pernah kulihat, ditambah tawa-tawa kecilnya setiap kali aku bercerita tentang banyak hal.

Namaku Aryo Nugroho, biasa dipanggil dengan Aryo.Tubuh tinggiku yang tidak diimbangi dengan berat badan yang ideal lah yang membuatku sering di-bully dengan nama "cacing tanah". Aku ingat betul dengan hari pertama aku masuk SMA, aku yang baru saja pindah dari Jakarta ke Bandung demi menghindari lebih banyak bullying akhirnya merasa bahagia untuk pertama kalinya. Upacara penerimaan anak didik baru akhirnya dimulai, aku berdiri diantara orang-orang asing yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Selama liburan sekolah kemarin aku berjuang mati-matian untuk menaikkan berat badanku agar lebih berisi supaya tidak ada yang mengataiku cacing tanah lagi. Selama 1 bulan lebih itu aku menggunakan segala cara seperti minum susu Dankow yang kabarnya bisa untuk menaikkan berat badan lah hingga makan telur lah, dan lain-lainnya. Akhirnya saat memasuki SMA, berat badanku berhasil naik 10 kg. Dengan bangga aku memasuki kelas yang telah diumumkan saat upacara pembukaan anak didik baru tadi pagi. Secara samar aku mendengar pembicaraan 4 gadis yang duduk di bangku belakang, mereka memanggilku “babi gendut”. Langkahku pun berhenti, dan ku tengokkan kepalaku ke arah mereka. Mereka tertawa terbahak-bahak melihat wajahku yang melongo atas apa yang mereka katakan tadi tentang aku.

Aku menunduk menengok ke bawah untuk menemukan gundukan lemak di perut ku. Tunggu, bukan 10 kg, tapi 20 kg!! Pantas saja seragam ku terasa sangat sesak. Selain susu, aku juga mengkonsumsi banyak mie instan dan roti-rotian yang jelas banyak sekali kalorinya. Sekali lagi aku membiarkan diriku menjadi bahan bully. Aku menyeret kakiku yang berat ini berjalan ke bangku depan dekat jendela, aku langsung duduk dan membenamkan mukaku di atas tas punggungku, “Ah, sial!” batinku.

Seperti yang diharapkan, tidak ada yang mau duduk sebangku denganku.

Hari-hari berlalu, dan sangat berat untuk ku tetap jalani. Hari itu, setelah bel pulang sekolah berbunyi, aku tetap berada di kelas untuk melakukan piket, dan tepat sekali, hanya aku yang melakukannya. Tugas yang seharusnya dilakukan bersama-sama oleh 4 sampai 5 orang... Aku tidak mau membuang-buang waktu dan langsung bergegas untuk bekerja.

Aku terduduk di kursiku pukul 4 sore, “hah, melelahkan juga.” tanpa kusadari, air mata berlinang di kedua pipiku, dan terjatuh pada sebuah nama yang terukir dengan spidol permanen pada bangku yang ku tempati. “Juwita..?”

Lihat selengkapnya