Juwita, aku duduk di bangku di belakang gedung tua sekolah Nusa Bangsa, Bandung. Dari semalam yang ada dibenakku adalah pertanyaan demi pertanyaan tentang mengapa Juwita memberikan larangan aneh itu. Aku juga sudah berjanji kemarin bahwa aku akan memanggilnya lagi hari ini.
Aku ambil nafas dalam-dalam, kurasakan sepoi-sepoi angin di saat mulutku mengucap “juwita”. Dia datang bak bidadari, dengan cahaya cahaya kecil putih terang benderang seperti lampu-lampu di surga. Seperti ciri khasnya yang membedakan Juwita dengan hantu-hantu yang lain, senyumnya. Dia tidak pernah lupa tersenyum entah seberapa sering nya itu.
Dia duduk, disampingku di bangku koyak di belakang gedung tua SMA Nusa Bangsa, Bandung.
Tatapannya terlihat sayu saat angin menyapu rambutnya. Hei Juwita, berapa banyak lelaki yang menyebutmu cantik? Berapa banyak pasang mata yang mengagumi dirimu yang indah ini? Berapa banyak orang yang mengatakan kepadamu bahwa mereka jatuh cinta padamu dan rela untuk mati untukmu meskipun itu adalah sebuah kebohongan belaka? Ingin segera kutanyakan hal itu, tapi kutahan, dan ku pendam untuk sementara waktu.