Jika kau tanya mengapa aku masih bertahan di jam segini, maka jawabannya adalah karena Jendra.
Sesungguhnya akan bukan tipe orang yang mudah tumbang hanya karena begadang. Tapi karena perjalanan luar kota hari ini terasa begitu melelahkan, agaknya tubuhku tidak bisa menoleransi udara pukul dua belas malam di tempat berlatarkan kaki pegunungan ini.
Satu jam berlalu dan Jendra masih belum pulang juga. Aku tidak punya lagi tanggungan laporan yang harus kukerjakan, jadi demi membuat mataku tetap terjaga, mendengarkan podcast self-improvement adalah satu-satunya pilihanku yang kupunya.
Otakku mulai larut dalam dunia maya hingga tidak menyadari pintu kamar kami telah terbuka. Jendra muncul dengan tampang lelah, tapi bibir tebalnya yang indah itu tetap melukiskan senyum untukku. Yah, tidak mungkin di hadapanku dia menunjukkan penatnya. Aku berdiri, menyambutnya dengan senyuman yang sama.
"Terlambat sekali, apa ada sesuatu?" Tanganku bergerak melepas jas kerjanya. Aroma honeylemon menguar di indra penciuman. Manis. Jelas bukan parfumku, apalagi parfumnya. Tapi aku tetap memasang tampang pura-pura tak tahu.
"Ada masalah saat proses editing. Ada beberapa scene yang terhapus tiba-tiba jadi harus mengulang take baru." Sesekali, sembari menimpaliku ia melirik ponselnya. Terlihat sedang membalas pesan. Dan lagi, aku kembali pura-pura tidak melihatnya.
"Ingin kubuatkan minuman hangat?" Aku menawari. Jendra menggeleng sembari jemarinya berkutat di layar ponsel. "Bisa tolong siapkan air mandiku saja?"
Tanganku berhenti merapikan jas yang tergantung di capstok. Aku menghela napas pendek. "Sepertinya kau lupa kalau usiamu sudah melewati angka tiga puluh, hm?"
Jendra berbalik, tertawa singkat. "Badanku lengket, sayang. Aku tidak ingin wanitaku mencium aroma lain di kasurnya." Lantas mengecup keningku singkat. Aku menyeringai simpul. Dia menggunakan alasan itu lagi.