Raden Tumenggung Wirasudira, Wedana Kadupawitan mulai merasa cemas, setiap kali ada pertemuan resmi antar wedana di priangan ia harus menjawab satu persatu sapaan dengan pertanyaan yang sama, terselip dalam obrolan ringan dengan segelas kopi panas dan hidangan tape uli.
"Bagaimana kabar putri paduka?"
"Alhamdulillah, Asmarani sehat." Jawabnya selalu tenang dengan senyum kecil, tak menjanjikan apa-apa.
"Bila paduka berkenan, izinkanlah satu diantara perjaka kami menghantarkan sesaji ke pelataran."
Kadang disampaikan dengan tawa ringan, kadang dengan anggukan penuh makna. Namun Wedana Kadupawitan itu tahu, maksudnya bukan sekadar basa-basi. Itu adalah bentuk lamaran tak langsung, pertanyaan dengan harapan, menyadarkan bahwa bunga di taman rumahnya akan segera dipetik.
"Putri saya masih sibuk menenun ilmu dan adab. Waktunya masih belum tiba."
Kata itu yang selalu dijadikan tameng baginya, ia tahu, pada akhirnya Asmarani akan menentukan pilihan kepada siapa ia akan menyerahkan hatinya, dan sebagai ayah ia akan menanti dengan sabar hingga sang putri mau melepas masa gadisnya, selama itulah ia akan menjadi pagar demi melindungi bunga kehormatan dari tangan yang hanya ingin memetik tanpa memahami harum dan durinya.
Ada yang menyebut putrinya adalah Kembang Priangan yang tumbuh terlalu harum di pelataran rumah wedana, terlalu tinggi untuk dipetik tangan biasa.