Kabut tipis masih menyelimuti gunung salak, suara ayam mulai bersahutan, hujan kemarin membuat embun di atas hamparan padi yang masih hijau, orang memerlukan duduk di depan tungku atau berkemul dalam sarung dan selimut, dingin tanah Priangan adalah kesejukan yang bukan hanya menusuk kulit tapi juga menembus tulang.
Berbeda di pesantren AS-Salam, selepas sholat subuh para santri sedang mempelajari tafsir dalam Al-Qur'an, Kiyai Ahmad duduk tenang di hadapan para santri.
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kalian..." (An-nisa : 59)"
Kiyai Ahmad menatap para santri, ada sebagian yang masih menguap, ada pula yang mendengarkan dengan takjim.
"Jika kita mengacu pada ulil amri pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tahukah ananda santri sekalian mengenai kisah Abu bakar Ash-Shiddiq?"
"Tahu Kiyai." Sebagian santri menjawab dan mengangguk.
"Khalifah Abu Bakar adalah pemimpin yang tegas dalam menjalankan syariat islam, membedakan nahi dan munkar, namun hatinya begitu lembut pada rakyat. Ia adalah pemimpin yang disegani dan ditaati oleh rakyatnya pada masa itu. "
"Kiyai." Seorang santri bernama Aman bertanya.
"Apakah kita harus menaati semua pemimpin seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq? Lalu adakah pemimpin seperti itu saat ini?"
Dari balik tirai penutup shaf santri putri terdengar bisik-bisik Asmarani pada sahabatnya Nyi Asih.
"Wallahua'lam." Bisik Radin Asmarani tertawa pelan.
Kiyai Ahmad tersenyum arif menatap Aman yang bertanya.
"Apakah ada yang ingin menanggapi?" Tanya Kiyai sambil menatap satu-satu para santri.
Santri Usman mengangkat tangan lebih dulu.
"Betul Kiyai, jika pemimpin seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq memang wajib kita taati."