Ia telah bersolek dengan baik, bedak, celak dan gincu terlihat sederhana tanpa berlebihan, kebayanya berwarna putih gading, kain tenunan sendiri menyempurnakan balutannya. Sanggulnya tersemat mentul berbentuk kamboja, dengan selendang terawang menutupi sanggul itu, ia sematkan kedua ujungnya pada bahu.
Ia bergegas menemui para ibu yang menyiapkan berbagai hidangan di dapur, ayahnya wedana Kadupawitan selalu menjadi tuan rumah bila seren taun tiba. Rakyat kadupawitan dan seluruh tamu undangan akan berkumpul di rumahnya, melakukan kirab hingga ke lokasi acara.
"Ranii.." Nyai Kartinah memanggilnya dengan lembut. Asmarani berhenti mengaduk nasi liwet, menoleh pada ibunya.
"Seueur nu sumping, geulis. Pang damelkeun kopi, sakedap."
(Banyak tamu, cantik. Tolong buatkan kopi sebentar.)
"Muhun, Ambu." Asmarani mengangguk, meninggalkan langseng penanak nasi, menata gelas, menyeduh kopi. Aroma menyeruak bersama asap yang mengepul mendidih. Perlahan ia membawa nampan berisi kopi ke ruang tamu, para tamu sudah ada di sana, terdiri dari para lurah, camat, dan wedana, ayahnya sedang beramah tamah.
Orang-orang yang biasa menanyakan gadis itu menatap tanpa berkata apa-apa, sejenak ruangan menjadi hening.
"Ya, simpan di situ saja." Ayahnya wedana kadupawitan memecah keheningan.
Asmarani hanya tersenyum simpul, menata kopi di atas meja, tidak menatap pada para tamu. Lalu pergi kembali ke dapur. Nasi liwet tadi sudah rapih, sedang ditata menjadi tumpeng dengan rupa-rupa lauk dan sayur. Asmarani ikut duduk menata.
Mobil Chevrolet master berwarna hijau tua berhenti di depan rumah wedana, para tamu menoleh. Asisten resident bersama Klerk resident atau Juru tulis keresidenan.
Asisten residen Priangan, tuan Willem Van Dijk menggunakan mantel panjang berwarna kelabu, rambutnya rapih, dan berkacamata. Sedang juru tulis itu adalah pribumi, Raden Wiranatapraja, pakaiannya serupa dengan tamu yang lain, hanya ada bros pangkat di beskapnya, menandakan sebagai juru tulis yang loyal pada pemerintah, di tangannya terdapat koper hitam yang dipenuhi dokumen.
"Kami datang sesuai perintah tuan residen di Bandung, bukan untuk mengikuti acara adat kalian." Tumenggung wedana kadupawitan mempersilahkan tamu tak diundang itu duduk di pelataran belakang, menjauh sedikit dari para tamu lain.
Ketiganya duduk dalam diam yang mencekam, gemuruh terjadi dalam dada wedana kadupawitan.
"Raden Wedana.." Ucap asisten residen dengan lidah Belandanya yang kaku.
"Residen tidak menyukai angka-angka yang turun. Dua musim panen, kadupawitan tidak memenuhi kewajiban pembayaran. Kami butuh keterangan secara lengkap."
Juru tulis residen menatap lurus dengan wajah dingin, suaranya terdengar berat dan tegas.