Sabtu wage, 22 Rayagung 1352 H (bertepatan dengan 17 September 1933) di Kadupawitan.
Kadupawitan gegap gempita, iring-iringan dengan berbagai warna baru saja melalui jalan raya, barisan pria menggunakan caping memikul padi yang dihentak ke kiri dan kanan, di belakangnya barisan wanita membawa bakul berisi sayur mayur, ada pula barisan anak-anak, membawa rangkaian bunga, di paling depan sekali ialah barisan pendekar, mereka membawa golok, arit dan kujang, bukan untuk bertarung, tapi atraksi kekebalan yang sakral. Dan di paling belakang ialah barisan pemain gamelan.
Mereka berjalan beriringan, melewati sawah, ladang, dan berhenti di bawah kaki gunung salak di atas lembah, kiri dan kanan diapit tebing cadas, di sebuah tanah lapang yang hijau dengan rumput liar dan ilalang. Di sanalah berdiri leuit (lumbung) padi, bangunan tingkat dengan dinding anyaman bambu, atapnya berbentuk sayap burung yang mengembang terbuat dari ijuk berwarna hitam, itulah tempat warga kadupawitan menyimpan padi pusaka yang akan digunakan untuk benih tanam tahun depan.
di balik pohon aren tiga pemuda duduk berbaris, di tangannya masih ada pelepah daun kelapa muda yang dirangkai menjadi janur, setelah kirab janur itu akan dipasang di beberapa penjuru mata angin. Mereka memerlukan menengok sesekali pada iring-iringan kirab, menyelesaikan pekerjaan dengan terburu.
"Mengapa lama sekali?" gerutu Aman "Seharusnya kita ikut memikul padi itu."
"Perlahan saja, Aman. Lagipula siapa yang bisa menyelesaikan empat janur dalam satu hari? Hah?" Usman mempercepat pengerjaan dengan pisau kecil, daun itu ia sobek memanjang dirangkainya menyatu menjadi bunga mawar yang mekar.
"Kang Jaka jangan diam saja! Kalau bisa bantulah kami." Tegur Aman pada Jaka Samudera yang sedikit melamun menatap jauh pada iring-iringan.
"Aku tak ada keahlian seperti itu, takut malah merusak."
"Apa tidak ada lagi yang bisa membantu, Kang?" Tanya Aman pada Usman.
"Jika kau banyak bicara, ini tidak akan selesai, Aman! Cepat kerjakan, lagipula wedana hampir lupa pada janur ini, tidak masalah bila sedikit terlambat."
Kedua pemuda itu dengan lihai menata, merias, menyatukan pelepah daun kelapa muda dengan tali dari akar atau disatukan dengan tusuk bambu. Jaka samudera masih terdiam memperhatikan dengan takjub. Janur itu selesai tepat waktu.
Ketiganya membawa janur bersamaan, iring-iringan kirab sudah berhenti di tanah lapang menghadap sawah dan ladang, duduk berbaris rapi. Aman, Usman dan Jaka Samudera berdiri ke depan barisan, mereka memasang janur yang baru selesai di empat arah penjuru mata angin. Orang-orang perlu memperhatikan tiga pemuda yang kerepotan.
"Mengapa baru dipasang?" Ki Lebe mendekat, membantu ketiga pemuda itu.
"Perintahnya terlambat ki, maka baru kami kerjakan tadi pagi." Jawab Usman menjelaskan.
Janur itu terpasang dengan rapi, angin meniup ujung-ujungnya dengan cantik seperti selendang bidadari yang melambai-lambai. Ki lebe memulai acara dengan membakar kemenyan pada sesaji bagi leluhur.
Ketiga pemuda itu memilih duduk jauh di barisan paling belakang, di bawah pohon ceremai yang belum lagi berbuah.