Kepalanya terasa pening, segelas kopi pahit telah habis sejak tadi, Radin Kartinah memerlukan memijat tengkuknya dengan minyak angin sebelum ia datang ke pendopo, ada beban menekan di atas ubun-ubunnya, ia memejamkan mata. Lampu cempor mulai dimatikan, hanya cahaya menyorot pada panggung yang dihiasi bunga-bunga dan kain batik seadanya. Sinden mulai berkidung.
Wedana duduk bersama para tamu undangan dan pemuka adat di barisan depan, keadaan begitu ramai, namun gemuruh riuh dalam kepalanya lebih ramai, lusa asisten residen akan datang lagi, menagih pajak yang menunggak.
Dalang ki Asep memulai dengan salam, para tokoh wayang mulai menari-nari membuka acara, ada juga yang beratraksi silat. Di barisan paling belakang duduk muda-mudi dengan kelompoknya masing-masing.
"Wayang goleknya beda, tidak seperti yang dulu." Asih berbisik pada pacarnya itu.
"Jangan dekat-dekat Asih, nanti dilihat orang." Asih menyikut pinggang Usman dengan kesal, Usman tak menanggapi. Ia melirik ke sekitar, mencari Asmarani, tak terlihat. Yang ada hanya Aman dan Jaka duduk di belakangnya.
"Tidak dengan Radin Asmarani?" Tanya Jaka Samudera.
"Tadi Asih duluan, Kang. Sepertinya belum sampai. Kunaon kitu?"
"Tanya saja."
Ki Asep memulai cerita, dengan prolog wayang golek bernama Ki Gede, seorang Raja dari kerajaan Sabrang alas yang berkelana mencari air Kahuripan, kerajaannya tengan ditimpa wabah dan paceklik, hanya air Kahuripan di puncak gunung tertinggi yang bisa menyembuhkan wabah pada rakyatnya.
Wedana Kadupawitan di barisan paling depan duduk diam-diam memperhatikan, matanya menatap pada pertunjukan, namun pikirnya sedang bekerja dengan keras.
"Jika aku naikkan upeti pada rakyat untuk menutup kekurangan dua musim lalu, rakyat akan kesulitan, bisa jadi pangan yang tersimpan akan habis sebelum masa tanam berikutnya."
Ia mengingat nominal yang diberikan juru tulis pagi tadi, nominal yang cukup banyak, tidak bisa memakai gajinya yang sebulan penuh, kalaupun bisa istrinya akan cemberut.
Ki Asep mengeluarkan tokoh Darta, suara gamelan berdentam berirama, orang-orang tertawa riuh pada saat Darta yang polos nyeletuk pada raja.
Wedana Kadupawitan tak memperhatikan.
"Tak ada cara lain, aku harus melepas kebun kopi yang telah ku berikan pada Asmarani untuk melunasi hutang pajak Kadupawitan. Toh masih ada kebun karet, ladang dan empang."
Ia menarik napas dalam, hanyut di antara hiporia dan tawa rakyat Kadupawitan, esok ia akan ke Cirebon, menawarkan kebun kopi pada kaka iparnya. Ia melihat pada Darta yang tertatih menaiki gunung tinggi, sedang ki Gede sudah sejak tadi sampai pada puncak mengambil air Kahuripan.
"Tapi kebun kopi itu sudah ku wariskan untuk Asmarani, Kebun karet terlalu luas untuk dilepas, ladang dan empang adalah sumber pangan keluarga." Wedana semakin gundah, bukan hanya tak mau menarik pemberiannya pada anak, istrinya pun tentu tidak akan tinggal diam.
Asmarani baru tiba saat cerita sudah di pertengahan, Ia langsung menghampiri Asih tanpa melihat ke sekitar.
"Terimakasih sudah sisakan tempat duduk untukku." Seperti biasa, suara itu lembut terdengar.
"Kenapa begitu lama?"
"Ambu, bapak, sedang tidak enak badan. Setelah memijat bapak, ambu minta dipijat dan dikeroki juga sama Rani." Asmarani tertawa pelan.
"Padahal aku sudah rapih dari tadi Asih. Sepertinya bapak sudah ada di sini juga." Asmarani memanjangkan leher mencari Ayahnya di barisan depan.