Dadanya terasa sesak, panas mencekik bersama ketakutan, pagi belum lagi berwarna, tiga pria telah berdiri mengetuk rumah Wedana dengan kasar, para camat di bawah distrik kewedanaan Kadupawitan.
Wedana belum lagi pulang dari Cirebon, hanya ada Asmarani dan Radin Kartinah di rumah itu.
"Pagi masih menggantung, ayam belum lagi berkokok, tuan-tuan telah membuat onar di rumah orang!"
Pekik Radin Kartinah membuka pintu dengan kasar.
"Kami datang lebih awal, agar gelap masih bisa menjadi pelindung bagi Raden Wedana. Di mana kiranya ia berlindung?" Camat Ciheuray memanjangkan kepala melongok pada rumah itu.
"Jangan berani-berani melewati pintu ini! Wedana tidak ada. Ia belum lagi kembali." Jawab Radin Kartinah tegas.
"Kemana Raden Wedana pergi? Pada saat kami dirundung banyak tekanan dari segala arah begini?" Camat Palananggala mengeluarkan cerutu, duduk di balai bambu tanpa dipersilahkan.
Gelap masih menggantung di atas sana, kabut tebal di segala sisi Kadupawitan masih menyebar kedinginan, Asmarani menahan takut berdiri di belakang ibunya, dibalik kain ia selipkan pisau dapur.
"Kami tidak datang untuk membuat onar, Nyai. Kami hanya ingin memastikan hutang pajak Kadupawitan yang kabarnya semakin menumpuk. Mengapa hal sebesar ini tidak sampai pada kami? kami ingin datang lebih awal mencari kepastian itu, sebelum para lurah datang mendahului ke sini." Camat Pakuan menyerahkan surat kabar De Preanger-Bode terbitan Bandung berbahasa Belanda, Radin Kartinah mengambilnya dan memberikan pada Asmarani.
Ada gemuruh dalam dada Asmarani, kabut itu bukan hanya menyebar di Kadupawitan, tapi pada relungnya yang terdalam, tangannya gemetar.
"Ambu.." Ia berbisik pada Radin Kartinah. "Kadupawitan terlilit hutang pajak, dan seren taun kita kemarin dipertanyakan."
"Apa pajak kami tidak pernah sampai ke meja Residen? Atau terjegal di rumah ini? Hah?" Camat Palananggala sedikit menggertak, dengan asap cerutu mengepul di depan wajahnya.
"Raden Wedana tidak pernah berlaku curang! Apa kalian lupa, dua musim lalu sawah kalian kebanjiran dan diserang walang sangit? Kalian tidak pernah membayar pajak dengan cukup, berbagai macam alasan selalu sampai di rumah ini, dan sekarang kalian datang seolah Wedana melakukan korupsi. " Jawab Radin Kartinah menggertak.
"Kami tidak akan menuduh, apalagi menganggap Raden Wedana melakukan korupsi, maka begitu kami datang mencari jawaban, Nyai." Camat Ciheuray berdiri bersidekap, mengusir dingin yang merasuk tulang, matanya tetap tajam menusuk kedua perempuan di depan sana.
Asmarani melipat surat kabar itu dan memasukkannya ke dalam kain.
"Saat ini bapak belum lagi kembali, tuan-tuan boleh pergi dari sini." Suara Asmarani tetap lembut namun penuh penekanan.