Kabar dari Priangan

Ridhawd
Chapter #10

Di balik topeng kekuasaan

Para lurah dan camat memenuhi beranda rumah wedana. Dalam dada berdesir kecurigaan, kepala tiap-tiap mereka dipenuhi pertanyaan yang sama. Apakah wedana memakan pajak Kadupawitan?!

Riuh terdengar dari tiap mulut, bisikan, syak wasangka tertuju pada keluarga wedana yang tengah berdiri tegap menghadapi massa tanpa gentar.

Raden Aswan Sudiratama sudah sejak tadi menahan amarah, beskapnya yang berwarna biru tua terlihat basah oleh keringat, ia menahan desakan tubuh orang-orang di saat matahari sedang membakar bumi.

Di balik kainnya telah tersemat keris tajam, bukan lagi keris pusaka, ia ikat kencang di antara sabuk dan kain. Belangkon bermotif mega mendung terlihat pantas dengan wajah seolah bayang muda dari wedana sendiri.

Juga Asmarani dan Radin Kartinah berdiri di belakangnya.

"Kami memeras keringat siang dan malam hanya untuk pajak yang tak masuk akal. Sekarang beredar kabar bahwa Kadupawitan terlilit hutang pajak! Lantas kemana keringat kami selama ini? Apa tak pernah sampai pada catatan distrik? Atau terjegal di rumah ini?" Seorang lurah di tengah keramaian berteriak.

Aswan melangkah setapak, napasnya memburu, matanya terlihat merah.

"Apakah kalian lupa? Dua tahun ini kalian selalu datang dengan banjir dan hama pada padi, kekeringan di kebun kopi, juga serangan walang sangit. Bukankah kalian sendiri yang selalu meminta keringangan dan pemakluman dari wedana?" Suaranya terdengar lantang berwibawa.

Para camat dan lurah menjawab bersamaan, ada yang menyangkal, ada yang mengumpat, juga riuh rendah dari bisik-bisik warga yang ikut menonton menambah ramai yang memekakan telinga.

"Tenang! Tenang semua!" Aswan mengangkat tangan, sejenak keadaan menjadi hening.

Seorang lurah lain menerobos barisan, hingga berada tepat di hadapan Aswan.

"Raden.. Kami memang sempat kebanjiran, sempat diserang walang sangit, tapi kami tidak pernah kurang dalam menyetor pajak, karena bila menunggak kami akan dianggap melawan... Bila sudah begitu, akan ada tentara mengetuk rumah kami."

Disusul pembenaran dari mulut para lurah dan camat, Aswan mengerutkan kening, sesaat menoleh pada Radin Kartinah dan Asmarani, seolah mengajak berdiskusi, tapi tak ada suara apapun di sana. Yang ada hanya aroma matahari yang jatuh membakar kulit kepala, serta aroma asin keringat. Suara burung perkutut yang baru memiliki telur terdengar berkukur. Ada gelagat tak wajar dari beberapa orang yang hadir, perlahan mulai mundur meninggalkan keramaian.

Jaka Samudera menyusul tiga orang pria itu, menguntit hingga tak terlalu jauh, orang itu berbisik :

"Jika begini, kita bisa gawat.. Mengapa harus anak muda itu yang mengurus?"

Mendengar riuh semakin ramai Jaka kembali lagi ke rumah wedana.

"Ya.. Ya.." Aswan mengangkat tangan menyuruh semuanya tenang.

"Tidak usah semua mulut berbicara, cukup bergantian. Aku akan mendengar laporan kalian, tapi ingat, bawalah bukti kemari. Jangan gunakan emosi. Duduk! Duduk kalian semua!"

Aswan menatap pada kerumunan di ujung sana, matanya menyipit lalu menoleh pada wajah adiknya yang sejak tadi diam. Ia berbisik pada Asmarani.

Lihat selengkapnya