Kabar dari Priangan

Ridhawd
Chapter #12

Lirih yang mulai terdengar

"Rani.." Suara Asih memecah hening, ia sedikit berlari memasuki pendopo pesantren.

"Maaf, kemarin Asih tidak datang membantu di rumah." Ia memeluk pundak Asmarani. Asmarani mengangguk, membalas pelukan itu.

Pendopo masih sepi, hanya ada Asmarani dan beberapa santri perempuan yang duduk di belakang tirai penghalang. Kiyai dan santri laki-laki masih berjamaah ashar di mushola.

"Waktu kejadian hari itu, Asih sedang jualan di pasar sama emak. Kamu tahu? Di pasar ramai sekali orang menceritakan wedana."

Asih merapihkan selendang yang sedikit turun dari kepalanya, menata kitab dan pena di atas meja kecil panjang.

"Apa katanya?"

Asmarani melirik sesaat, pada santri perempuan yang baru saja tiba. Azizah dan putri bungsu Kiyai, Ning Fatimah.

"Maaf yaa, Rani.. Mereka bilang wedana memakan uang pajak." Asmarani menghembuskan nafas lirih, hatinya terasa sakit, darahnya seolah berhenti menciptakan pening di ujung kepala.

"Kamu percaya, Asih?" Asmarani menatap mata sahabatnya dengan sayup.

"Tidak. Kami tahu, bapak wedana juga ambumu adalah orang baik. Insyaallah akan segera selesai permasalahan ini." Asih menggenggam tangan Asmarani, menguatkan.

"Rani.." Azizah, yang duduk di belakangnya memanggil pelan. Asmarani menoleh.

"Aku dengar, di rumahmu terjadi kerusuhan lain antar pemuda?"

"Betul Izah." Asmarani menatap pada ujung selendangnya, teringat riuh yang meninggalkan traumatik dalam relungnya. Azizah hendak bertanya lagi, namun tertahan dengan kehadiran Kiyai Ahmad dan para santri laki-laki yang memasuki pendopo, aroma kasturi semerbak terbawa angin, entah siapa yang punya.

Pendopo semakin terisi penuh.

Asmarani melihat dari celah tirai pemisah. Jaka Samudera, hanya belakangnya yang terlihat. Ia ingatkan betapa baik pemuda itu hari lalu, ia belum sempat berterimakasih.

Pendopo mulai senyap, hanya terdengar bisik-bisik atau suara lembaran kitab yang dibuka, Kiyai haji Ahmad Basuni duduk beralaskan tikar anyaman, wajahnya selalu nampak tenang, surbannya berwarna hijau, dengan kopiah haji menutupi kepalanya yang telah memutih, sebuah tongkat kayu tersandar pada tembok.

"Apakah ananda santri sekalian masih ingat dengan Amar Ma'ruf Nahi Mungkar? Mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran?" Para santri mengangguk, ada pula yang menjawab. Kiyai membuka kitab, suaranya terdengar dalam dan fasih.

Man ra‘ā minkum munkaran falyughayyirhu biyadih,

fa in lam yastaṭi‘ fa bilisānihi,

fa in lam yastaṭi‘ fa biqalbih,

Lihat selengkapnya