Gerbong kereta kelas satu begitu senggang hari itu, tak ada suara apapun selain derit roda menggilas besi rel yang tersambung jauh mengukur bumi. Aroma tembakau terbakar memenuhi udara, menyatu dengan cat minyak kayu jati.
Tirai menutup jendela bergoyang lembut terkena angin semilir. Tak ada suara apapun, seolah gerbong itu memang dirancang untuk para pejabat yang punya segala batasan.
Wedana duduk sendiri, di sampingnya tersandar tas kain berwarna kelabu, ikat kepalanya tak lagi di pakai hari itu, kancing beskap telah terbuka dua, memperlihatkan kaos kutang berwarna putih.
Di barisan lain hanya ada seorang pria Eropa dengan mantel tersandar pada kursi, di tangannya terbuka lebar surat kabar De Locomotief. Tak ada suara apapun dari pria itu.
Sedang di kursi belakangnya, Mang Njang tertidur pulas.
Seorang pria pelayan pribumi berdiri di ujung gerbong, jasnya berwarna putih dengan celana hitam rapi. Menunggu perintah yang tak kunjung datang. Wedana melirik pada jendela besar, hamparan sawah menyambut, disusul lembah dan bukit yang memanjakan pandang.
Ia telah enam hari meninggalkan Kadupawitan, kabar dari Bandung membuat hatinya terasa ciut. Juru tulis residen Raden Wiranatapraja menyerahkan surat kabar De Preanger Bode pada saat ia menghadap residen, melunasi pajak Kadupawitan.
"Residen tidak pernah menyebarkan berita mengenai pajak yang menunggak, selama kedua pihak saling memegang komitmen, Raden wedana." Juru tulis meyakinkan, membiarkan wedana membaca perlahan surat kabar berbahasa Belanda itu.
Wedana duduk gelisah, di belakangnya berdiri Mang Njang tak tahu apa-apa. Ia membuka surat kabar itu lagi, membacanya untuk kali yang ke sekian.
"Raden Wira.. Seseorang yang menulis ini sedang melucuti pakaianku." Ia atur deru napas yang memburu, di tangannya masih hangat secarik kertas kwitansi dari residen berlogo resmi, pembayaran pajak dan hutang yang menunggak.
"Bagaimana bisa sampai menjadi berita, Raden?" Juru tulis itu menaruh simpati, wedana menatap dalam padanya. Ada sedikit kehangatan, tidak dingin seperti di Kadupawitan tempo lalu.
"Jika bukan dari pihak residen, aku tidak yakin. Sejauh ini siapa yang mengetahui persoalan kami? Bahkan rakyat Kadupawitan pun tidak tahu."
Wedana menatap jauh pada atap karesidenan yang berwarna putih, burung walet terbang di atasnya, berputar terjebak, menabrak jendela dan terperangkap di dalam karesidenan, seorang jongos mengusirnya dengan sapu.
"Aku harus segera kembali ke Kadupawitan. Raden Wira.. Urusan pajak yang menunggak sudah selesai di sini." Ia menjabat tangan, mengangguk hormat dengan penuh formalitas. Sekalipun ia tahu juru tulis sedang menyambutnya sebagai teman lama. Dan ia tahu betul, teman tidak akan pernah ada dalam bangku jabatan.
Surat kabar itu menambah kewaspadaannya, siapa saja bisa menjadi musuh, dan kecurigaannya hanya ada pada satu nama, juragan beras dari Cianjur.
Suara dentuman kereta terdengar memeluk udara, ada asap tebal keluar dari cerobong. Wedana menatap pada hamparan sawah milik Sumedang yang belum lagi panen. Ia mengusap wajahnya dengan telapak tangan, menghembuskan napas resah.