Di masa saat ini, masa saling mencurigai terjadi di kalangan pejabat Belanda dan kaum perjuangan, Belanda menangkap siapa saja yang dianggap memberontak, onderwijs ordonantie diresmikan oleh Belanda ketika kaum bumi putera mulai mendirikan sekolah bagi rakyat. Sekolah yang tidak berlandaskan pada aturan Belanda, dan dianggap memiliki tujuan khusus. Perlawanan.
Bermula dari taman siswa yang didirikan Raden Mas Soewardi Soerjaningrat di Yogyakarta, yang mendapat penekanan dan pengawasan khusus dari pemerintah kolonial karena dianggap mengajarkan radikalisme. Tapi siapapun tahu, Belanda hanya takut pada perubahan inlanders menjadi manusia yang maju, dengan begitu kekuasaannya sebentar lagi akan terkikis.
Kabar itu sampai di Priangan, hanya sebagai kabar kebijakan yang biasa terjadi, sesuka hati pemerintah kolonial, sama seperti kebijakan tanam paksa, dan pajak yang tak masuk akal.
..dan di Kadupawitan sendiri, wedana masih dalam duduk yang diam-diam, membuka lembaran laporan pajak dari sulungnya Raden Aswan.
Pagi itu matahari belum lagi naik, Halimun memenuhi pelataran rumah wedana, burung perkutut masih meringkuk dalam sarangnya di pohon jambu, menjaga telur-telur yang belum lagi menetas.
Aswan memperhatikan burung itu.
"Mengapa tidak dikandangi?" Tak ada jawaban.
Wedana menyeruput kopi hitam yang masih mengepul. Hangat menjalar pada dada. Napasnya berhembus resah, sekali lagi ia buka laporan pajak lurah yang tersusun rapi, dengan tumpukan bukti kwitansi.
Ia mengingat aduan dari istrinya semalam tadi, betapa riuh telah terjadi di kadupawitan, meninggalkan kerusuhan di rumahnya, sedang ia tidak ada di sini.
Wedana menatap pada gunung salak yang masih samar tertutup kabut, ia menoleh pada Aswan yang duduk di depannya, membaca kolom surat kabar berjudul onderwijs ordonantie, dan sesekali menyeruput kopi juga.
"Ordonasi sekolah liar.. Sekolahpun harus diawasi? Penakut sekali rupanya Belanda ini." Aswan tertawa kecil.
Wedana hanya melihat sebentar, lalu memperlihatkan kwitansi resmi dari residen, pelunasan hutang dan pembayaran pajak bumi kadupawitan.
"Tidak usah dibayarpun, bapak tidak bersalah. Bukti kuat merujuk pada para camat." Aswan melipat surat kabar itu, memperhatikan penuh pada wedana.
"Di sini kau menulis Palananggala, Pakuan, dan Ciheuray."
"Memang ketiga camat itulah yang sampai sekarang belum menghadap, dan laporan pajak dari lurah tidak serupa dengan catatan bapak."
"Mengapa tidak dicari?" Wedana menajamkan pandang pada laporan khusus kecamatan Palananggala, Ciheuray dan Pakuan, memang dua kali berturut-turut telah datang memohon keringanan. Dan keringanan yang harus diangsur setiap bulannya selalu tersendat, menimbulkan hutang yang membengkak.
"Ketiga camat itu hilang, pak.. Di rumah dan di seluruh kadupawitan, juga anak, istrinya."
Cahaya matahari mulai mengusir kabut tipis, kehangatan terjatuh pada dua wajah lelaki yang serupa itu. Wedana mengatupkan bibir, dahinya berkerut, memperlihatkan semakin banyak cakar ayam pada raut wajahnya yang tak lagi muda.
"Sial! Aku tertipu." Ia mendengus kesal, menggeser bangku, membelakangi kilauan pagi yang baru terlahir dari timur.
"Kita adakan sidang terbuka di pendopo, panggil seluruh lurah dan camat di kadupawitan. Dan ketiga camat yang menghilang itu, harus dicari sampai dapat." Wedana menatap dalam pada Aswan, persoalan ini bukan soal politik semata, tapi menyangkut martabat dan nama baiknya.
"Aku akan membalas surat kabar yang tempo lalu meresahkan seluruh Priangan, pak."
"Tidak perlu. Surat kabar itu bukan dari residen ataupun rakyat Kadupawitan."
Maka berceritalah wedana mengenai kejadian di Cianjur.
"Pak! Kita harus membalas!" Aswan memekik, matanya terbelalak.
"Tidak ada bukti pada kita, itu hanya prasangka bapak." Wedana berbisik, takut Radin Kartinah dan Asmarani mendengar. Aswan gelagapan hendak menjawab, tapi dengan cepat wedana mendekatkan jari telunjuk pada mulut, menyuruh Aswan diam.