Kabar dari Priangan

Ridhawd
Chapter #15

Pengadilan Hitam

Darah menetes dari giginya yang rontok, gusinya terasa bengkak. Asin, anyir, memenuhi mulutnya.

Jurus pencak Ki Mandala kini menghantam perutnya, ulu hati panas dan sesak, ia muntah darah bercampur nasi semalam bersama aroma pahit pekat yang tercium sengit.

Pandangannya mulai kabur, dalam kepalanya terasa terisi batu, tubuh yang lengket panas dingin kini ambruk. Ia tidak benar-benar pingsan, hingga dipenghabisan ia lihat Camat Ciherang mendapat perlakuan serupa dengannya, hingga segalanya terasa melayang dan gelap.

Ia mulai sadar saat matahari Kadupawitan berada tepat di atas kepalanya, tubuhnya terikat pada sebuah batang pohon mati, di sisinya Camat Ciherang belum lagi sadar, sedang darah segar terus menetes dari pelipisnya yang robek.

Sekali lagi ia muntah, yang keluar bukan lagi darah, tapi cairan ampedu yang pahit dan menyengat.

"Wedana Anjing!" Ia mengumpat pelan, lidahnya terasa bengkak, kaku. Matanya menyorot pada segala arah, tak ada lagi para Pendekar Cimande Kadupawitan.

"Mantan Camat Ciherang, Apa kau mati?"

Tak ada jawaban, ia menyenggol kawannya itu dengan siku, hening. Tak ada gerak, tak ada suara.

"Baik, sebentar lagi akupun akan mati."

Ia pejamkan mata, menunggu kematian. Hingga matahari benar-benar lenyap dari langit Priangan dan ia belum lagi mati, tubuhnya terasa melayang, ia membuka mata yang berat, dua orang telah memapahnya dengan tandu.

Ia kembali memejamkan mata, sedang di seluruh Kadupawitan, justru para rakyat tengah menajamkan mata dan pendengaran, membahas sidang terbuka yang baru saja terjadi. Pun di dapur pesantren sore itu.

"Bagaimana menurut Kang Jaka soal para Camat tadi?"

Azizah mengaduk nasi yang baru diangkat dari langseng, aroma nasi matang tertiup angin merasuk hidung, harum. Di sisinya Fatimah memarut kelapa.

Muda-mudi senior sedang memasak untuk para santri, pada dapur sederhana dengan berbagai perkakas seng, anyaman, dan tembikar, berbaris beberapa tungku yang masih menyala. Jaka dan Aman sedang bertugas menjaga api, sesekali memotong kayu bakar dengan golok.

Sedang Azizah, Fatimah, dan beberapa santri putri yang memasak.

"Menurutku bukan para Camat itu yang menarik untuk dibahas. Tapi Wedana sendiri."

Jaka memandang jelaga hitam di langit-langit dapur, pagi tadi Wedana mengundang seluruh rakyat Kadupawitan untuk menyaksikan sidang terbuka bagi para Camat.

Dan.. Para Camat itu mengaku sebagai dalang dari kerusuhan ini.

"Ya.. Betapa ringan sekali Wedana memberi pengampunan, padahal namanya sudah tercemar." Aman menanggapi sambil meniup tungku dengan selongsong bambu.

"Ning Fatimah, ini sudah menyala."

Fatimah menghampiri Aman, menjaga jarak sopan, ia tuangkan santan perlahan pada wajan besar. Mengambil alih pada tungku itu.

Aman menjauh, menghampiri Jaka, ikut memotong kayu bakar.

Lihat selengkapnya