Pagi di Priangan selalu mengesankan, harum dan moleknya terasa magis. Apalagi bila sedang tidak gerimis, maka siluet gunung akan nampak jelas dengan air terjun yang bergaris.
Sejak semalam Jaka belum lagi tidur, dalam sepetak kamar kecil milik pesantren, ia baringkan tubuh pada kasur tipis, menutup wajah dengan kain sarung. Membaca doa tidur.
Rasanya belum lama saat mata itu terpejam dan jiwanya melayang, Usman membangunkannya, ada sepucuk surat dari Asmarani.
~*~
Jaka Samudera..
Ku lihat, kau begitu akrab dengan Azizah.
Lalu, apakah perkataanmu malam itu hanya sekadar candaan pada gadis lemah ini?
Bila benar begitu, kau sangat keterlaluan!
Asmarani
~*~
Jaka tersentak, surat itu hanya beberapa baris, namun berisi amarah yang mampu menampar hatinya. Bukan penerimaan ataupun tolakan, tapi hanya ada keraguan.
Pagi itu juga ia bergegas mengayuh sepeda, menuju leuwit padi, ia ingat hari itu adalah hari ruwatan leuwit untuk Asmarani.
Benar saja, gadis itu sedang menyapu, bersama Asih, dan Nek Iyam.
Mereka saling terdiam saat Jaka tiba.
"Temui saja, mumpung Nek Iyam masih ritual di dalam." Asih berbisik, mengambil sapu lidi milik Asmarani, dan melanjutkan pekerjaan.
Asmarani mendekat perlahan, di bawah pohon asem yang bercabang, keduanya duduk dalam jarak.
Ada resah dalam sorot matanya.
"Ada apa, Kang?"
Jaka menarik napas perlahan, ia menatap pada Asmarani.
"Apa menurutmu aku terlalu dekat dengan Azizah?"
Asmarani menoleh singkat.
"Fikir saja sendiri."
"Kau merasa terganggu?"
"Untuk apa aku kirimkan surat bila aku tak terganggu?"
Jaka terdiam sejenak.
"Kau harus tahu, aku tidak pernah membicarakan apapun dengannya, selain soal pelajaran atau hal-hal umum."
Asmarani masih menunduk, tangannya memainkan ujung selendang.
"Biasanya, yang diawali dengan hal-hal umum, bisa berakhir pada hal-hal yang khusus."
"Aku tidak seperti itu. Kau ragu padaku?"
"Iya."
"Kau kesal?"
"Iya."
Jaka memandangnya lekat.