Kabar dari Priangan

Ridhawd
Chapter #18

Pulang ke Wengker

Jaka tiba pada penghujung bulan September, saat tanah Wengker kerontang digenggam kemarau panjang.

Bila perhitungannya tidak meleset, hanya tinggal menunggu satu bulan penuh, maka angin muson akan berhembus membawa musim penghujan.

Ia kokohkan pijakan pada tanah kelahirannya, menatap gapura dari kayu sono keling dengan ukiran Naga Wengker - Naga yang telah melekat lebih tua dari usianya.

Tubuh Naga itu masih sama, melingkar dengan sisik yang dipahat rapi ; menandakan kebijaksanaan dan perlindungan.

Matanya tajam menatap seolah mengatakan :

"Barang siapa menginjak tanah ini, maka harus patuh dengan hukumnya."

Ia hiraukan dua orang penjaga yang menunduk hormat mengenalinya.

Tatapnya tertuju pada Pendopo Agung yang senggang. Angin menghembuskan panas debu yang menampar wajahnya, seolah mengatakan bahwa tanah ini tak pernah berubah. Keras, panas, dan penuh dengan tuntutan.

Seorang pria tergopoh dari arah Pendopo menyongsongnya, mengangkat sembah.

"Raden Mas.. Mengapa tidak memberi kabar akan pulang hari ini? Saya bisa menjemput di stasiun." Itulah Trisno, supir pribadi Adipati.

Jaka tak menjawab, justru tatapnya menerobos pada ruang kerja Adipati yang terbuka lebar, terdengar sayup suara percakapan dari dalam.

"Raden Mas, ingin bertemu Ndoro Adipati? Biar saya sampaikan."

"Tidak usah, No. Aku ke dalam dulu."

Koper itu diambil Trisno, Mereka berjalan melalui lorong Pendopo Agung, melewati ruang kerja Adipati, menuju Ndalem.

Suara gamelan mengalun pelan dari arah pawon para emban, seperti nyanyian yang tak ingin didengar.

"Di mana Gusti Ayu, No?"

"Gusti Ayu di pawon Raden Mas. Nanti saya sampaikan, kalau Raden Mas Adiwangsa sudah tiba."

Keduanya berhenti di depan pintu kayu jati berukir, kamar paling ujung adalah miliknya sendiri.

Di sisinya berbaris dua kamar yang begitu hening, terkunci rapat, milik Sutomo dan Sudjipto, yang entah kapan akan terbuka lagi..

Semerbak harum kayu menyeruak, pengap dan pahit. Lentera gantung masih menyala ; ranjang, kasur, lemari, tak bergeser sejak kepergiannya. Trisno bergegas membuka jendela kecil bercat kelabu, membiarkan pengap itu pergi bersama debu.

Tanpa banyak bicara Trisno pamit menuju pawon, sedang seorang emban muda memohon izin masuk membawa cawan air, menunduk sebelum menutup pintu itu kembali. Jaka tertelan sepi, batinnya lirih, tak ada kehangatan, yang ada hanya formalitas semata.

Ia berdiri, melepaskan seluruh pakaian yang melekat, menuju sumur mandi. Air menetes dari ujung rambutnya, segar menjalar di sekujur tubuhnya.

Jaka meraih baju kebesaran: beskap halus warna kelam, kain batik dengan motif Reog Ponorogo terikat pada pinggangnya, juga di kepalanya melekat blangkon yang disesuaikan Trisno dengan satu sentakan rapi.

Lihat selengkapnya