Menjelang pagi dalam remang kabut dan dingin yang membekukan darah, Kiai Ahmad dalam balutan pakaian sholat duduk di serambi pada bangku kayu, dengan samar cahaya lampu gantung.
Dua opsir polisi Belanda berpakaian lengkap berdiri di hadapannya, menolak untuk duduk. Sedang pada masing-masing kantungnya ada pistol, yang siap meledak kapan saja.
Selembar surat terbuka di hadapannya, dengan cap resmi dari Direktur Jawatan Sipil Priangan meneruskan perintah Gubernur Jenderal di Batavia : Onderwijs Ordonantie. Ordonansi Sekolah Liar.
Kiai mengangkat pandang pada dua opsir polisi itu, keduanya memasang raut dingin, seolah tak ada ucap lain selain yang diperintahkan.
"Tuan.. Kami di sini mengaji, belajar menjadi manusia yang punya pedoman. Lalu, apakah itu merugikan tuan-tuan semua?"
"Agama tuan mengajarkan perlawanan!" Gertak seorang di antaranya.
Kiai Ahmad tersenyum arif.
"Jika membaca Al-Qur'an sudah dilarang, maka kehancuran akan segera datang."
Tak ada jawab dari dua opsir polisi itu, keduanya hanya mendengus kesal.
"Maka periksalah pesantren ini bila tuan ingin.." Kiai berdiri, menggulung surat perintah dan memasukkannya ke dalam kantung baju.
Dalam pagi itu pula, dua polisi menyisiri setiap sudut pesantren, memasuki musholah kecil. Santri laki-laki tengah berdzikir..
Sedang di pengimaman Usman memimpin dzikir, tatapnya menusuk pada dua polisi yang berdiri mengacak pinggang, bersepatu, menginjak-injak karpet sholat!
Para santri diam sejenak, hening. Ada ketakutan menyelimuti bagai jaring yang terjalin. Mencekik tenggorokan.
Namun dalam suasana yang mencekam itu, dengan lantang Usman berseru!
"Lanjutkan dzikir kalian!"
Maka bergemalah dzikir itu, dalam semburat fajar pagi. Dua polisi memeriksa setiap lemari kayu, Al-Qur'an, kitab-kitab, dan pakaian santri dibuat porak-poranda.
Sedang para santri tetap membuka Al-Qur'an dan mengaji.
Dua polisi itu duduk dalam diam. Mematung. Mendengarkan setiap huruf dan ayat yang terucap. Matanya menembus apa saja yang terlihat..
Hingga remang cahaya senja mulai menyelimuti tanah Priangan, dua polisi itu baru meninggalkan Pesantren As-Salam.
Pada Kiai Ahmad ia berkata :
"Pesantren ini hanya sebuah lembaga kecil yang tertinggal." Suaranya merendahkan.
Kiai tak menjawab, hanya membalas dengan tatap, tak menantang.
"Tetaplah tertinggal, jangan coba melawan!" Dua polisi itu pergi dengan congkaknya.