Kabar dari Priangan

Ridhawd
Chapter #23

Suradipati~Asmarani

Gerincing delman terdengar di pekarangan rumah wedana, rodanya menggilas tanah lunak, meninggalkan jejak. Matahari baru mulai condong ke barat, jingga keemasan terjatuh megah di atas bumi. Sedang udara Priangan terasa semilir.

Lelaki dengan setelan necis turun dari delman, topi baret hijau tua melekat pantas dengan wajah rupawan itu, di bahunya terselempang tas. Melongok lama pada pintu rumah wedana, berjalan dengan mantap.

Ia tersenyum lebar saat Radin Kartinah membuka pintu.

"Suradipati!" Radin Kartinah berseru sumringah.

"Assalamualaikum, Bibi.." Ia berikan kecup hormat pada punggung tangan itu.

Radin Kartinah menatapnya. Terpukau. Lupa menjawab salam.

"Suradipati... Kau, berubah sekali!" Radin Kartinah berdecak. Ia tatapkan pandang pada tubuh tegap, gagah.

Suradipati hanya tertawa pelan.

"Kasep! Mengapa tidak memberi kabar mau berkunjung?" Radin Kartinah mempersilahkannya masuk.

"Saya hanya mampir Bibi, ada kunjungan di Batavia tadi. Cukup dekat ke Bogor, jadi saya mampir sebentar." Suradipati duduk pada kursi di ruang tamu.

Asmarani yang sedang duduk di kamar mendengar sayup percakapan itu, membuka pintu, berjalan perlahan.

"Ah, Ya! Kunjungan apa di Batavia?"

"Pertemuan dengan teman." Suradipati tertawa.

"Itu bukan kunjungan, tapi melancong." Radin Kartinah menepuk bahu itu. Tertawa.

"Mau minum apa?"

"Apa saja, Bi."

Radin Kartinah bergegas ke dapur, pada ruang tengah berpapasan dengan Asmarani. Tak ada kata, hanya senyum sumringah dengan isyarat mata.

Asmarani berdiri di ambang pintu, menyingkap tirai, kedua tatap itu bertemu.

Sejenak segalanya berhenti, hanya degup yang terdengar dalam dada Suradipati. Aroma kopi tercium samar dari dapur.

Asmarani membisu, menunduk, nafasnya tercekat pada tenggorokan.

Saat ia mengangkat tatap, lelaki itu sudah berdiri. Tersenyum di hadapannya.

"Asmarani.. Mawar bodas Akang sudah mekar rupanya."

Asmarani tersentak, mundur perlahan. Jemarinya menggenggam rambut yang terurai, ditutupinya pada tengkuk dan leher.

"Mengapa menjauh? Takut kau pada Akang?" Suradipati menatap wajah itu dalam, terpesona pada segala yang ada. Alis melengkung, dengan bulu lentik membingkai mata, bibir terkatup merah muda. Cantik jelita.

"Bagaimana Eropa?" Radin Kartinah berjalan melalui keduanya, menata secangkir kopi dan segelas air putih.

"Lebih dingin dari Priangan, lebih modern dari Hindia."

"Itu sudah pasti! Dan pemuda sepertimu akan lebih senang pada segala yang berbau modern."

Lihat selengkapnya