"Sepertinya kau memang sengaja datang kemari. Untuk melihat Asmarani, kan?" Aswan menyodorkan kotak cerutu - Suradipati tak menyambut. Dadanya terasa masih mengepul, sudah terlalu banyak asap hari ini.
Di luar angin berhembus perlahan, membawa sejuk, sedang awan terlihat kelabu menyembunyikan rembulan.
"Adikmu angkuh."
Ia lirik Aswan yang masih sibuk dengan cerutunya, asap membulat terbang di udara.
"Tidak, Bung. Dia memang tidak suka padamu."
"Sial!" Suradipati mengumpat dalam hati.
"Dia sedang menjalin kasih dengan seorang santri."
Suradipati tersentak.
"Pantas! Bila masih murni tak kan bisa menolakku." Ia menggerutu lagi.
Seorang santri terlalu remeh untuk menjadi saingan, betapa mudah disingkirkan jika persoalannya hanya seorang santri!
"Ku kira kau sudah sangat modern, tidak peduli dengan perjodohan."
"Begini Bung, perjodohan bukan hal yang memalukan, bila keduanya sama pantas..."
Suradipati tertegun dengan ucapannya sendiri. Perjodohan terlalu klasik. Bila dalam hikayat biasanya si perempuan akan terluka, karena sudah punya kekasih. Biasanya pemuda miskin-lemah. Dan saat si perempuan mati, kekasihnya akan merana - menjadi pujangga.
Dan pemenangnya abadi - menjadi penjahat selamanya.
Sial!
Suradipati meludah jauh.
"Di Eropa sana, tidak mungkin tak ada perempuan yang memikat." Aswan mematikan cerutu yang tinggal setengah. Menopangkan bahu pada sandaran kursi kayu.
"Aku hanya menyukai adikmu."
"Hidung belang! Mata keranjang! Aku kenal kau sejak kecil." Yang ini tak terucap oleh Aswan. Hanya lirikan tajam dan seringainya yang menusuk.
Ia tak kan lupa pada pentas ronggeng setiap malam minggu di Kalianyar, yang menjadi saksi hidup betapa belang Suradipati saat remaja.
"Kau pernah tidur dengan biduan ronggeng!" Juga yang itu tidak terucap. Hanya seringainya yang kedua menjadi tanda.
"Kisah lama tidak usah diingat." Seolah tahu segala isi kepala, Suradipati menatap tajam.