Kabar dari Priangan

Ridhawd
Chapter #25

Janur kuning - keris pusaka

Di Kadupawitan padi mulai berisi. Hijau telah memudar menuju kuning, petani sedang giatnya menjaga hama ; cuaca stabil, curah hujan normal.

Dalam musim yang ideal, janur kuning banyak terpasang di desa-desa. Musim perkawinan.

Di Kadupawitan sendiri, ada tiga janur hari ini. Satunya milik Usman dan Asih.

Lantunan barzanji dan kosidah dari santri As-Salam mengiringi akad sakral itu. Dalam balutan kebaya putih dan melati, Asih menawan - manis cemerlang. Sedang Usman terlihat gagah - gemilang.

Tamu tak seberapa banyak, hiasan pelaminan hanya sederhana, tapi raut pengantin begitu terang. Kebahagiaan dan sukacita yang mendalam.

Asmarani sudah hadir menemani sejak pagi. Ia sembunyikan sembab semalaman dengan bedak tipis dan gincu merah muda.

Pagi sekali Suradipati pamit, padanya berbisik : "Berapa mahar yang Rani inginkan?"

Dan Ia tak berikan jawaban.

Sukacita di tengah pernikahan Asih-Usman malah membuat ia merasa sesak. Ia pandangi pengantin baru itu. Begitu bahagia. Juga lamat ia perhatikan senyum Asih yang mengembang, tawa riang, binar mata yang tak lagi disembunyikan.

Untuk pertama kali, ia iri pada Asih.

Bi Eem menghampiri mejanya, menata kue cucur dan wajik. Tersenyum, menjuil dagu itu, gemas.

"Geulis." Begitulah setiap kali bertemu, dan Asmarani akan biarkan jemari atau pipinya dicium.

Saat iringan barzanji dan kosidah berhenti, maka kidung Nek Iyam akan mengalun. Sapun penganten.

Tangan tua itu menggenggam baskom berisi beras kencur, uang koin, dan bunga tujuh rupa. Asih dan Usman disawer - bocah kecil berebut koin saweran.

Dalam riuh sukacita itu Asmarani memilih diam. Hening dalam keramaian.

"Diam saja sejak tadi." Jaka mengulurkan telapak tangan, beberapa koin, kencur dan bunga.

Asmarani tertawa.

"Ceng!" Pada santri kecil ia berikan seluruh koin ; bunga dan kencur ia taruh di meja, depan Asmarani.

Orang sibuk dengan urusan masing-masing, ia lirik pengantin di pelaminan sedang ritual pabetot bakakak dan Asih mendapat bagian paling besar. Riuh sukacita terdengar, Nek Iyam masih melagukan kidung-kidung sakral.

Sedang Jaka di sisinya cengar-cengir melihat pemandangan di pelaminan.

"Kau akan menikahiku juga kan, Mas?" Jaka mengangguk mantap.

"Kapan, Mas?"

"Sore ini juga bisa." Asmarani tertawa kecil. Ia tebarkan pandang pada sekeliling. Ramai.

Barangkali ini akan sampai juga pada bapak - ia menggeser bangku lebih dekat.

Hari ini biar semua tahu, bahwa Jaka adalah kekasihku!

"Ujianmu belum lagi selesai, Mas?"

"Sedikit lagi."

"Apa bisa Mas, kita menikah sebelum ujianmu selesai?"

"Bisa saja. Tapi mengapa tiba-tiba?"

Asmarani berdiri, mengajak Jaka keluar dari keramaian. Menuju warung kopi kecil.

Orang tak kan datang meminum kopi pada pagi hari, apalagi sedang ada hajatan. Warung itu sepi, hanya dijaga oleh seorang bocah pendiam.

Mereka memesan dua kopi yang tidak diminum.

Lihat selengkapnya