Kabar dari Priangan

Ridhawd
Chapter #27

Dalam Larangan Adat

Memasuki penghujung tahun 1933 di Priangan, hujan merajai musim itu, setelah maghrib hingga menjelang subuh, orang akan berkemul dalam selimut, menutup pintu, berteduh di bawah atap rumah masing-masing.

Bila semburat matahari pagi mulai mengintip, mengusir kabut menawarkan kehangatan, maka para petani akan bergegas melihat kebunnya yang terendam, terlebih para petani ikan akan kelabakan setelah memastikan ikannya berkurang banyak. Berpindah ke balong orang, atau hanyut entah ke mana.

Kiriman air dari Katulampa menuju Ciliwung membuat Cikapundung meluap.

Tak ada yang lebih menakutkan dari air bah yang tiba-tiba menerjang apa dan siapa saja yang terlihat. Sebab pada suatu pagi seorang opsir penjaga kebun menemukan mayat mengapung, tak ada yang mengenal, sudah membusuk, barangkali berasal dari hulu sungai Cisadane atau lebih jauh lagi.

Ada pula yang mengabarkan kehadiran buaya besar yang barangkali sengaja berpindah atau terbawa arus. Semua orang menjauhkan sungai itu sementara.

Sedang langit menggantung kelabu sejak pagi, aroma embun di atas tanah menyapa ramah setiap jiwa yang tetap keluar menahan dingin dan malas. Tak terdengar suara apapun selain ayam jago yang berkeruyuk pelan, seolah ragu apa sudah datang pagi atau masih dalam remang malam.

Di tengah rengkuhan alam yang menghawatirkan, tapak sirih tetap terbuka di pendopo Cimande, sebab hari itu Wedana Kadupawitan telah datang berkunjung menemui Ki Lebe.

"Telah datang lamaran pada kami seorang pemuda dari Wengker, putra Bupati. Nampaknya memang sudah lama menjalin kasih dengan Asmarani. Lalu datang pula keponakan dari Cirebon, putra kakak kami Sultan Haji, yang ini sejak kecil memang sudah kami kenali."

"Bukankah itu pilihan yang mudah Raden?" Wedana mengangguk pelan. Tapak sirih di antara keduanya masih menganga, memperlihatkan kapur, gambir, pinang, dan sirih lebar. Diraihnya oleh Wedana menghilangkan gundah - diracik, dimamah perlahan.

"Asmarani mengharapkan pemuda Wengker itu, Ki."

"Sayang sekali dia dari Wengker. Bagaimana silsilahnya?"

"Dari keris yang ia haturkan, sangat jelas memang leluhurnya dari Majapahit."

"Jangan membuka luka lama, Raden. Radin Asmarani putri kami juga, silsilahnya sampai pada Raja Sunda."

Wedana meludah sisa sirih pada wadah, berdeham pelan. Pada halaman pendopo yang masih diselimuti halimun para pendekar Cimande mulai berdatangan, membentuk barisan. Seorang guru berdiri di barisan terdepan, Ki Mandala.

Wedana termangu dalam ingatan perang Bubat, larangan itu terbentuk jauh sejak Prabu Bunisora menggantikan tahta Prabu Wastu Kancana yang masih kecil.

Lihat selengkapnya