Seorang kurir menembus rintik menuju Pesantren As-Salam saat Jaka sedang mahsyuk dengan kitab-kitabnya. Aman berlari menghampirinya membawa kabar.
"Untuk Raden Mas Adiwangsa."
"Dari?"
"Dari Leiden." Jaka terperanjat. Ia tutup cepat kitab yang menganga, mengambil surat dari tangan Aman.
Sampulnya ia robek cepat, napasnya tertahan serupa dengan semilir angin pelan sore itu. Seperti perkiraannya, surat dari Sudjipto.
*
Tertanda di Leiden, 1933
Kabarmu telah sampai padaku beberapa tahun lalu, jika memang itu sudah jadi pilihanmu maka berjalanlah terus, jangan ragu.
Perihal Ibunda, sampaikanlah ampun dan sembah sujudku padanya. Jika pelita masih temaram di kamarku, bertanda kau masih saudaraku, aku masih putra Kadipaten Wengker. Betapa luas muara kasihnya tak terukur.
Adiwangsa.
Aku mengenal Bung Pati atau Suradipati dari Cirebon. Suratnya sampai pagi tadi, barangkali pekan lalu saat kau menerima surat dariku.
Apa ini Adi? Persoalan perempuan? Jauh kau ke Priangan hanya untuk meributkan perempuan! Jangan rumitkan hidup yang sesaat hanya dengan perempuan. Pernikahan tidak seindah dongeng-dongeng belaka. Cari yang lain, perempuan bukan hanya ia seorang.
Tak usah mencari ribut, tangguh tidak melulu soal menang. Dan satu yang terpenting, Berhati-hatilah dengan Suradipati. Ia setan pribumi.
*
Jaka tercengang, surat itu masih ada beberapa lembar. Ia lirik Aman yang berdiri memasang wajah bingung. Dadanya penuh, terasa hangat yang menggetirkan seolah omelan Sudjipto terasa nyata, kembali hadir seperti masa kecil dulu.
"Adi! Jangan bermain di semak. Banyak ular!" Dan Sudjipto akan menarik lengan kecilnya dengan kasar.
"Kau belum pernah kan dipatuk kobra jawa? Kau bisa langsung mati. Kalau kau mati, aku hanya tinggal sendiri." Lalu Sudjipto akan melaporkannya pada Gusti Ayu.
Siluet itu muncul sesaat dalam ingatan. Rintik di Kadupawitan masih sama, sederhana. Sedang langit tetap kelabu. Tanpa bersuara Jaka meninggalkan Aman menuju kamar.
Dalam selembar yang lain, Sudjipto menceritakan tentang Suradipati. Ia termangu, betapa najis!
Pada penghabisan ia lipat surat itu dengan rapi, dimasukkan ke dalam laci kecil miliknya.
Semrawut mulai berkuasa dalam pikiran, sedang nasihat Sudjipto tumpul untuknya, yang ada pada dada tetaplah Asmarani. Kini semakin dalam, semakin berhasrat untuk memilikinya.
Aman melongok dari balik pintu.
"Kang Jaka. Ada tamu untukmu."
***
"Apa ini keputusanmu?" Suaranya pelan berbisik, warung kopi itu sudah hampir tutup saat ia datang bergegas memohon untuk masuk.