Malam itu membuatnya lupa pada dosa dan batasan, segala pelajaran dari pesantren tak berguna sedikitpun di hadapan gadis itu, dan aroma mangir yang tersemai dari tubuh Asmarani mencekat tak juga hilang dari penciuman, sedang di Kadupawitan ia tak lagi punya persoalan, ujiannya benar-benar telah selesai, secarik keterangan lulus telah ia terima dari Kiai Ahmad.
Dalam dilema yang tak berujung ia kirimkan surat-surat pada Sudjipto mengabarkan lamaran yang ditolak, juga dendam perang Bubat, padanya ia berani mengumpat pemuka adat Kadupawitan.
Kadupawitan hari itu tidak hujan, tidak juga terik, maka seorang diri ia menuju Cikapundung, mendengar gemericik sungai yang mungkin takkan pernah ia dengar lagi di Wengker. Dalam kesendirian, seakan ilham dari para Raja Wengker sebelumnya datang, berbisik, berusul, mengingatkan tentang jiwa ksatria, lelananging jagad dalam jati diri ksatria Jawa, tentang segala kebanggaan dari darah dan silsilah.
Ia tepis segala pikiran rusuh itu, ia rendam sekujur tubuh dalam air, di sini ia tak ada artinya, bahkan nasabnya begitu dihindari, ditakuti.
Air terjun jatuh menerpa di atas kepalanya, betapa menyakitkan, betapa memekakan. Sama seperti pagi itu, segala syak wasangka dan tudingan tertuju padanya di pesantren. Puh! Orang-orang suci.
Malam di warung kopi saat keduanya kalut saling merengkuh untuk penghabisan kali, sepasang mata mengintip dari balik kayu, mendengarkan, menguntit, bukan milik Mang Njang, tapi milik lelaki tua pemilik warung kopi.
"Pemilik warung itu yang bilang, katanya Kang Jaka... Ah, malu sekali aku menyebutnya."
"Katakan saja."
"Keduanya berciuman."
"Tidak kusangka."
"Mengapa? Bukankan priayi dari manapun memang begitu kelakuannya?"
Seluruh tudingan dan sorot benci mengarah padanya, dari santri-santri perempuan dan laki-laki, juga Usman yang sudah menjadi ustad.
"Mengapa tidak dijelaskan?"
"Tidak perlu, biarkan saja."
"Atau memang benar begitu kejadiannya?"
Ia lirik Usman yang berwajah masam, ada kebencian yang tersirat.
"Sekuat apapun, bila orang sudah menaruh benci, percuma." Maka ia tinggalkan pesantren dalam keadaan kalut.
Dalam percikan air Cikapundung di sekujur tubuhnya, ia merasa sendiri, bajing-bajing yang melompat tak lagi menarik perhatiannya. Isu di warung kopi akan sampai pada keluarga Asmarani, maka banyak kemungkinan yang akan terjadi, seperti diusir secara tidak hormat dari Kadupawitan, dan seorang Raden Mas dari Wengker pantang terusir di tanah rantau, maka sebelum itu terjadi, ia harus angkat kaki sendiri. Tapi meninggalkan Asmarani dalam kemelut begini? Betapa pengecut!
Buaya kecil menampakan moncongnya di tepian sungai, berenang-renang ringan, sebelum induknya datang, ia segera naik.
"Di sini kau rupanya, Kang. Kiai mencari."
Keduanya berjalan menyusuri tapakan sawah, menembus udara sejuk-hangat Priangan.
"Menurutmu, apa Kiai akan mengusirku?"