Kabar Duka

Maureen Fatma
Chapter #1

Tuan Penakluk

Sekelompok pendaki turun setelah mereka menggapai sunrise di puncak gunung. Mereka berlima, dua di antaranya wanita, sedangkan satu dari ketiga laki-laki dalam rombongan itu mengaku sudah menaklukkan dua medan jalur mencapai puncak. Aku memberinya sebutan Tuan Penakluk.

Ketika mereka berlima hendak turun, Tuan Penakluk rupanya ingin mencoba turun melalui rute yang belum pernah ia jamah sebelumnya. Kawan-kawannya yang baru coba-coba naik gunung menyepakati. Hitung-hitung sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Sekali mendaki, dua jalur pendakian mereka gasak.

Mereka sempat berjumpa dengan regu lain lantas bergabung. Akan tetapi, kebersamaan kedua regu itu hanya sampai seperempat jalan. Pemandangan bukit dengan batuan sulfur berwarna putih melenakan mata rombongan Tuan Penakluk. Panorama itu tidak mereka dapati di rute sebelumnya, yang mana medannya lebih banyak tanah berdebu dan padang savana.

Menepilah mereka untuk berfoto, sementara regu lain meninggalkan mereka karena sudah kenyang mengeksplorasi keindahan bukit sulfur itu kemarin. Karena rombongan Tuan Penakluk mengaku masih awam dengan jalur ini, maka regu yang mendahului mereka berbaik hati dengan bersedia menunggu di pos empat. Letaknya dua kilometer saja dari sumber mata air. Sebelum berpisah mereka diingatkan supaya tidak lupa memenuhi persedian air minum saat menemukan sungai. Tuan Penakluk paham betapa krusialnya persoalan air minum.

Dua jam berlalu. Kamera ponsel mereka mulai jenuh. Rombongan Tuan Penakluk bergerak turun. Pemimpin regu tadi benar, Tuan Penakluk dan empat kawannya menemukan sumber mata air. Sampai sini semua masih jelas. Mereka membersihkan diri tanpa khawatir toh regu terdepan sudi menunggunya di pos empat. Sesuai arahan, masing-masing membawa dua liter air mengingat rute ini lebih panjang dan berkelok-kelok.

Usai mengisi penuh botol minum, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Jalur turun mulai ada percabangan. Mereka berembuk. Kelimanya kompak menempuh yang sebelah kiri. Yeah, mereka teman satu jurusan di fakultas teknik nuklir. Saat ospek dahulu mereka termasuk kelompok tersolid.

Tiga jam berjalan dari sumber mata air, pos pendakian belum terlihat sama sekali. Kabut mulai turun. Mereka mulai heran. Pasalnya, kata regu di depan seharusnya pos hanya berjarak dua kilometer saja dari sungai. Tiga jam itu berlebihan untuk jarak dua kilometer tanpa hambatan. Stamina mereka tergolong tokcer. Para wanita sanggup jalan tanpa sebentar-sebentar duduk.

Terlalu dini bagi mereka untuk curiga, ditambah mereka mendengar samar-samar keramaian orang. Mungkin pos empat tidak jauh lagi. Mereka putuskan terus menerjang kabut dan tetap optimis seraya melebarkan daun telinga. Lama-lama jarak pandang mereka kian menyusut karena kabut yang turun bertambah tebal. Setiap lima belas menit sekali Tuan Penakluk mengabsen kawan-kawannya, takut ada kawan yang tertinggal di belakang.

Satu jam terlompati, kabut sedikit berkurang. Hiruk-pikuk suara orang-orang yang sedari tadi mereka ikuti kadang terdengar keras, kadang pelan, kadang berembus dari barat, kadang selatan. Kemudian yang lebih membuat lima sekawan itu ternganga adalah percabangan yang barusan mereka lewati malah mereka datangi lagi. Mereka yakin itu percabangan yang sama dengan yang sebelumnya.

Mulanya mereka memaksa diri berpikir waras dengan mencoba jalur sebelahnya. Tak lupa menandai kalau jalan ini sudah mereka lalui. Namun, kelimanya masih saja berakhir di percabangan yang sama dengan tanda yang sama. Fix. Tuan Penakluk dan kawan-kawannya lemas seketika. Kejadian gila yang mereka alami mengguncang mental mereka. Mereka cekcok, menyalahkan ide awal Tuan Penakluk yang ingin coba-coba rute baru.

Gemerasak suara parang yang menebas semak-semak menghentikan perselisihan mereka. Muncul seorang perempuan dari semak belukar dengan menyandang tas carrier di pundaknya. Bukannya lewat jalan setapak yang sudah tersedia, perempuan itu melibas semak dan membuka rute anyar. Perempuan itu adalah aku, dan aku terlihat aneh di mata mereka.

"Apa dia manusia sungguhan?" bisik para wanita, lantas bergeser ke belakang punggung para pria. Daripada terlihat lega akan kehadiranku, dua wanita itu menampakkan reaksi takut.

"Hai!" sapa Tuan Penakluk.

"Hai!" balasku dengan mengayunkan parang ke ranting-ranting belukar yang menjerat kakiku.

"Kenapa kamu menerabas jalan?"

"Bukan urusan kalian," jawabku. Sebenarnya aku sudah berusaha agar tidak terdengar ketus. Sungguh. 

"Kami tersesat. Apa kamu tahu arah yang benar?" Tuan Penakluk bertanya sopan. "Kami sudah dua kali lewat jalan ini, tapi hanya berputar-putar."

Lihat selengkapnya