Kabar Duka

Maureen Fatma
Chapter #2

Pulang

Seorang perempuan naik ke gerbong kereta ekspres dengan membawa koper kabin, lantas menempati bangku di sebelah jendela. Perempuan itu duduk bersimpul senyum, berpangku rindu. Perjalanan pulang lima jam lamanya ingin ia selingi dengan menikmati panorama di balik kaca. Sejumlah penumpang yang ikut naik turut mengisi bangku-bangku kosong. Pada stasiun berikutnya setengah penumpang itu turun, kemudian penumpang tujuan baru menggantikan. Begitu seterusnya.

Na adalah panggilan akrab perempuan bernama lengkap Narah Van Rijckloff. Bagi kebanyakan perempuan lokal, sinar matahari di atas pukul sebelas siang dianggap serangan. Baginya yang bertolak dari Belanda, serangan itu adalah kenikmatan. Na menadahi terik matahari yang masuk melalui jendela kereta dengan wajahnya, membiarkan panas matahari menyengat kulit putihnya. Dia rindu sinar matahari saat belahan bumi yang lain sedang mengalami musim dingin. Lambat naun Na ketiduran dibuai hangatnya matahari.

Kereta baru saja memasuki terowongan saat Na terbangun dan membuka matanya. Gelap. Na merasa sesak seakan berjubel-jubel orang memenuhi gerbong. Tercium pula bau peluh banyak orang. Peluh bercampur sedikit bau anyir. Bau semacam itu Na kenali sebagai bau tidak wajar. Ketika terowongan memuntahkan kereta, cahaya kembali memenuhi seisi gerbong. Na menata keadaan, menduga-duga sekiranya berapa stasiun terlewati. Di waktu bersamaan dia menyadari tidak ada satu pun penumpang berdiri apalagi sampai berdesakan. Semua penumpang duduk di kursinya masing-masing. Kereta ini lenggang.

Bangku sebelah rupanya telah berpenghuni. Tampak seorang pria tengah duduk di situ. Hanya diam dan menatap ke depan. Na mengamati pria itu sekilas, tapi cermat. Pria itu membawa sekuncup payung hitam yang terus-menerus meneteskan sisa-sisa air hujan. Pakaiannya, walaupun tidak basah kuyup, tapi lembap. Sepatunya pun tak terelakan. Memangnya selebat apa hujan di luar kereta?

Kering kerontang. Di luar sedang tidak hujan. Barangkali fenomena hujan sebagian melanda sebuah stasiun. Kecepatan laju kereta ditambah panasnya matahari dengan cepat mungkin telah menyusutkan bulir-bulir air hujan di jendela. Lalu Na melupakan hujan hari itu. Dia kembali meyakini perjalanan akan terus berlanjut sebagaimana waktu terus berputar, menggerus yang sudah-sudah.

Mengenai si pria yang bajunya basah oleh tampias air hujan, Na tentu tidak tahu-menahu ke mana tujuannya? Naik kereta dari stasiun mana? Yang menarik dari sosoknya ialah tinggi, tegap, dan tampan. Senang sekali melihat pria rupawan versi Asia Tenggara. Pria itu tampaknya tak menyadari bahwa perempuan di sebelahnya sedang mencuri pandang sekali, dua kali, dan keterusan. Hingga kemudian Na memaksakan diri berhenti memainkan matanya sebelum ketahuan.

Kereta akhirnya membawa Na tiba di stasiun kota tujuan. "Permisi!" Na menggunakan satu-satunya kesempatannya bicara.

Pria itu menyingkirkan sepasang kaki jenjangnya untuk memberikan jalan keluar.

"Terima kasih."

Tak digubris. Menoleh saja tidak. Wajah Indo Narah tak mempan membuat pria itu meresponsnya.

Na turun dari kereta, menapaki lantai peron sambil menggeret koper kabinnya. Perlahan kereta bergerak pergi. Na memberanikan diri menatap hantu-hantu yang menyesaki gerbong-gerbong. Pantas saja sejak kereta keluar dari terowongan, gerbong jadi terasa pengap. Pemandangan aneka bentuk dan rupa hantu sudah biasa baginya. Berlagak seolah tak bisa melihat mereka juga bagian dari kebiasaannya.

Na mulai lagi. Dia melihat pria itu dari bingkai jendela kereta. Bagi Na, pria itu termasuk salah satu dari banyaknya pemandangan yang sayang untuk dilewatkan semenjak menginjak tanah air. Tumbuh dewasa di Negeri Kincir Angin dan baru kembali setelah lima belas tahun lamanya, Narah sangat jarang bertemu pria dewasa dari ras Mongoloid khas negara kelahirannya, Indonesia.

Walaupun teman kampusnya juga ada yang berasal dari Asia, tapi tetap saja berbeda dengan wajah-wajah pria melayu yang diingatnya ketika masih kecil. Entah Na dapat versi tampan pria itu dari mana? Na tersipu tanpa sadar.

Akan tetapi pria itu beda dengan kita, wahai bakal temanku! Aku sangat mengenal pria itu. Mungkin engkau saat ini belum tahu tentangnya. Apa kamu sadar tidak ada penumpang lain yang kehujanan seperti dia? Cuaca hari ini begitu cerah sepanjang kereta melulur cepat di atas relnya yang panjang.

Menuju rumah kelahiran, tinggal naik angkot dari stasiun kereta api. Na turun di pertigaan yang di pinggirannya terpancang rambu penunjuk bertuliskan "agrowisata perkebunan teh". Abang-abang tukang ojek suka mangkal di warung yang letaknya tiga meter dari rambu tersebut. Punggung Na langsung tegang membayangkan naik ojek. Koper kabinnya kurang praktis bersanding dengan angkutan roda dua. Dengan memilih naik delman yang juga mangkal di warung itu, koper kabinnya akan tersenyum.

Seakan begitu ingin dihabiskannya dalam sekali hirup, Narah menarik napas dalam-dalam berulang kali. Senyumnya pecah. Jantungnya berdegup semangat. Na ingin lari lebih kencang dari kuda yang membawanya. Rindu yang penuh sekarang meluber. Bibir merah mudanya tersenyum. Kakinya berjinjit. Tumitnya menari ke kanan dan ke kiri seperti anak kecil pertama kali naik delman.

Delman membawa Na melewati spot-spot kenangan masa kecil. Sebuah bangunan sekolah mematik kekaguman di hatinya. Gedung sekolah itu tetap menawan dan semakin menawan karena pemeliharaannya tidak meninggalkan nilai historis yang pernah ada. Gable, tower, dormer, dan pilar-pilar serambi yang masih ada mengukuhkan bahwa sekolah itu merupakan peninggalan era kolonial yang bersejarah.

Dahulu sekolah itu diperuntukkan untuk keturunan berkewarganegaraan Belanda. Namun, sejak politik etis mulai diterapkan sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah kolonial terhadap rakyat jajahannya, sekolah tersebut dibuka untuk umum hingga saat ini. Na dan adik laki-lakinya dulu bersekolah di sana.

Lihat selengkapnya