Inggrid sudah berdiri di pucuk tangga, menyambut putrinya. Satu tangannya memegangi handrail, tangan lain membawa cangkir teh.
"Minanti, tolong siapkan makan siang lebih awal!" pinta Inggrid kepada Minanti yang tadi mengabarkan kepulangan putrinya.
"Baik, Bu." Lantas Minanti turun mendahului. Karpet tangga yang menjulur meredam derap cepat langkah kaki Minanti. Berkutat di dapur rumah utama merupakan bagian dari pekerjaan pembantu rumah tangga itu.
Inggrid menuruni tangga selebar tiga meter. Gerakannya terbilang lincah di usianya yang menginjak kepala enam. Jari-jarinya yang tirus dan keriput itu berpegangan pada railing kayu jati yang diplitur mengkilap. Lima belas tahun sudah, putrinya baru kembali. Jangan tanya apapun tentang kerinduan!
Minanti melirik momen perjumpaan ibu dan anak itu dari dapur. Selama lima tahun bekerja di dapur rumah utama, Bu Inggrid hampir tidak pernah membicarakan soal anak atau sanak keluarganya. Siang dan malam sibuk dengan bekerja. Terus terang, Minanti ingin melihat sisi lain dari majikannya yang tertutup, selalu serius, irit bicara, dan enggan tersenyum itu. Selain nilai margin perusahaan yang meningkat, apa lagi yang bisa membuat majikannya sumringah?
Ibu dan anak sama-sama menggulung jarak. Mereka berpelukan. Gadis dua belas tahun berparas lugu yang lepas dari dekapan Inggrid lima belas tahun lalu sekarang telah menjelma menjadi perempuan dewasa yang cantik. Gen Tuan Willem berpengaruh besar terhadap diri Narah.
Senyum Bu Inggrid ternyata tidak semerekah perkiraan Minanti. Minanti membatin kalau pipi majikannya itu sepertinya butuh peregangan. Semoga kepulangan sang anak dapat melatih otot-otot pipi Bu Inggrid berkontraksi. Dan, supaya Minanti jadi lebih sering melihat majikannya tersenyum.
Na wanita bertubuh tinggi, semampai. Inggrid bagai melihat siluetnya sendiri. Na tumbuh dengan baik. Auranya memikat, luar biasa cantiknya. Menyelami lensa coklat Na, mengingatkan Inggrid pada suami tercintanya, pemilik sesungguhnya dari pabrik dan kebun teh yang ia teruskan.
Inggrid muda tadinya bukan dari sembarang kalangan. Dia putri tunggal pejabat pemerintahan. Tumbuh remaja dirinya menjadi idola. “Kembang desa” itu gelarnya dulu. Kulitnya kuning langsat, cantik jelita, dan wangi semerbak. Para kaum tersohor berebut ingin menjadikannya madu. Tapi, Inggrid muda bermodal pesona dan bertonggak pada ras priayi yang mengalir dalam darahnya hanya terima lamaran pria Belanda. Siapa mau menyia-nyiakan juragan pabrik dan perkebunan demi menjadi madu? Inggrid muda akhirnya menikah dengan Willem Van Rijckloff. Kelahiran Narah dan adiknya menjadi pelengkap bagaikan langit malam bertabur bintang.
"Kamu masih berkuda di sana?" Ibu dan anak sudah duduk di meja makan persegi panjang menikmati makan siang.
"Sesekali di hari libur. Bibi Margaret punya sepasang kuda di peternakannya."
Inggrid menitipkan Na pada adik suaminya untuk tinggal dan memperoleh pendidikan di Belanda. Margareta Van Rijckloff punya peternakan sapi modern. Margareta sering mengirimi Inggrid foto Na yang sedang bermain di peternakan. Inggrid dan Margareta dulu akrab karena rumah loji ini dahulunya mengundang kerabat dekat dari Belanda dalam sebuah perjamuan khusus.
"Hoe gaat het met ze?" Inggrid paham betul kehadiaran Na di tengah-tengah pasangan itu akan sangat menghibur mereka yang lama tak kunjung mendapat momongan.
"Oom en tante zijn gezond," jawab Na menyuap makanan ke dalam mulutnya dengan lahap. Dia rindu masakan Indonesia. Rindu segalanya. "Iriana apa kabar, Ma?"
"Iriana berhenti kerja. Dia membuka klinik di rumahnya dan menjadi psikolog di sebuah panti asuhan."