Matahari turun, punggung-punggung pegunungan menenggelamkannya. Namun, senja itu sepertinya segan melipur lelah para karyawan sif pagi yang hendak pulang. Gerimis dataran tinggi memaksa mereka meriung di titik-titik teduh seperti di bawah pohon rindang, teras-teras rumah utama, pabrik, gudang, dan gazebo-gazebo yang tersebar di sekitaran komplek.
Makam keluarga pendiri pabrik dan kebun teh tidak seberapa jauh jaraknya dari rumah utama, cukup dekat dengan perbatasan hutan. Adi menuju ke sana mengendarai jenis mobil off-road lima pintu, lalu parkir di sisa lahan makam itu. Tiga belas nisan dari batu kapur menjulang, besar, dan megah melingkari taman. Di tengah-tengah taman terpahat satu patung malaikat bersayap. Struktur taman tengah dan pinggiran makam ditumbuhi semak berbunga. Pijakannya tersusun dari batu granit berpola segitiga. Rapi dan indah.
Sejatinya pemandangan tempat itu tidak semenyeramkan kisah tragis orang-orang yang dimakamkan di tempat itu. Total dua belas orang meninggal bersamaan dalam kerusuhan hebat. Mereka tewas terbakar dalam kobaran api yang dahsyat, yang dipercikan sekelompok warga. Adi dan Na masih kecil saat tragedi itu terjadi.
Sore ini di bawah hujan, Adi mendapati seorang perempuan sedang menziarahi salah satu makam. Kemungkinan besar perempuan rambut panjang berwarna ash brown itu adalah Narah, dan batu kubur di depannya milik Tuan Willem. Dari kejauhan Na terlihat memakai sweter biru muda dan rok panjang motif bunga. Anggun sekali.
Tidakkah Bu Inggrid berlebihan dalam menyerap pertemanan masa kecil mereka? Perjalanan waktu dan rentang dua benua tidak menjanjikan apa-apa dalam hubungan pertemanan mereka, batin Adi. Dia sangat canggung. Pertemuan terakhir mereka sekitar lima belas tahun yang lalu: Na kecil maju ke depan kelas untuk berpamitan pada teman sekelasnya. Saat itu Na hendak pindah sekolah ke Belanda, kira-kira empat bulan setelah Sabastian—adik Na yang duduk di kelas dua—diwartakan hilang. Na terlihat lebih pendiam dan murung sejak itu. Bahkan es lilin gratis tidak sanggup mengembalikan keceriaannya.
Walaupun memasuki era digital mereka kembali berteman lewat media sosial, tapi Adi tipe pengguna pasif. Akun profilnya minim informasi dan foto. Satu-satunya foto yang menampilkan dirinya hanya foto profil. Belum pernah diperbaharuinya lagi semenjak unggahan terakhirnya. Semoga Narah tidak butuh waktu lama mengenalinya. Semoga saja.
Adi berjalan menghampiri perempuan itu dari belakang. Derap langkahnya agak diperjelas supaya Na menyadari kedatangannya dari jauh. Gerimis membasahi rambut perempuan itu, belum sampai membuatnya kepalang kuyup. Padahal Na membawa payung yang menganggur di bawah kakinya.
Adi lalu mengambil payung itu, memfungsikan sebagaimana mestinya dapat menaungi mereka berdampingan. Tak lupa Adi merentangkan paket bunga. Narah menoleh, tersenyum sebentar sembari menerima buket bunga yang Adi berikan. Na lanjut menyelesaikan doa.
"Bagaimana kabarmu, Di?" Syukurlah perempuan cantik itu lekas mengidentifikasi Adi. Na membungkuk, mengakhiri sesi berdoanya dengan meletakkan bunga di atas gundukan pusara bertulis Willem Van Rijckloff.
"Baik. Bagaimana perjalananmu?"
"Lancar. Maaf, aku belum mengabarimu kalau aku sudah sampai." Na pernah mendengar dari sang ibu bahwa Adi, teman sekolahnya dulu, akan diutus menjemputnya di bandara. Adi sekarang mandor di pabrik teh, begitu yang ibunya ceritakan tempo hari.
"Tidak apa, Na." Berikut Adi menyampaikan alasan serta permintaan maaf dari majikannya kepada Narah.
Na mengangguk-angguk. "Sudah biasa. Mama memang selalu sibuk sepanjang hari." Kaki Na mengajak sambang ke nisan sebelah.
Adi turut bergerak dan menaunginya dengan payung.
"Kenapa adikku dibuatkan kuburan?" Telujuk lentik Na mengarah ke satu nisan. Kuburan ini adalah kuburan ke tiga belas. Angka pada tahun kematiannya berbeda dengan angka kematian pada dua belas nisan lainnya.