Kabar Duka

Maureen Fatma
Chapter #5

Sabastian Van Rijckloff

Dia adik Na berusia delapan tahun saat menghilang. Na empat tahun lebih tua dari sang adik. Ingatan Na yang sudah lebih tajam semestinya mampu mengingat kejadian di hari menghilangnya Sabastian. Akan tetapi, entah mengapa hujan deras kala itu menghapus sebagian ingatannya. Na tidak ingat di mana dirinya meninggalkan Sabastian, biar sekeras apa pun ia berusaha mengingatnya.

Hari itu alih-alih melewati jalan yang biasanya mereka tempuh sepulang sekolah, Na mengajak Sabastian pulang melalui rute alternatif buatan para pemetik teh. Jalannya terletak di pinggiran hutan, hanya berupa jalan setapak yang berlumpur dan licin ketika hujan, dan yang begitu berbahaya ialah jalan itu membawa mereka mengarah ke tepi jurang.

Bersama sang adik beserta seorang temannya—Adi kecil—mereka hendak pergi bermain ke pohon sawo kecik. Na mengaku pada Adi kalau dirinya dan Sabastian kerap bermain di bawah pohon sawo kecik itu. Pohonnya super besar dan menghasilkan buah semanis permen. Tumbuhnya di atas sebuah bukit. Nantinya, seluruh komplek pabrik dan perkebunan bisa terlihat dari sana. Tapi hari itu, mereka bertiga tidak pernah sampai ke sana.

"Kami menemukan tiga pasang jejak sepatu anak-anak di tepi jurang. Ketiganya terpisah. Jejak sepatu terkecil terperosok ke dalam jurang. Tim pencari sedang menyusuri dasar jurang. Kemungkinan selamat bagi anak-anak sangat kecil."

Mendengar penyampaian polisi, Inggrid sesenggukan. Inggrid tak siap menerima kenyataan si bungsu pulang dengan keadaan telah menjadi jenazah. Bayangan tujuh anak kecil yang dulu ditemukan tewas tanpa kepala di hutan mengusik ketakutannya. Bilamana itu menimpa Sabastian, apa masih dapat dia mengikhlaskan bahwa sebetulnya ini adalah karma dari semesta untuk membalas perbuatan laknat keluarga Rijckloff atas kematian tujuh anak kecil itu.

"Kami bertanya pada putri Anda, ke mana tujuan mereka saat itu? Putri Anda menjawab, mereka berjalan pergi ke pohon sawo kecik di atas bukit. Masalahnya Bu, pohon sawo kecik tidak tumbuh di dataran tinggi. Pohon itu tumbuh di dataran rendah. Apa Anda selalu membiarkan mereka bermain jauh dari rumah?"

Ditanya begitu, Inggrid menggeleng. Inggrid tidak tahu harus menjawab apa. Dia mengaku terlalu sibuk. Ibu tunggal yang benar-benar sibuk.

Polisi kemudian mengintrogasi Na kecil dengan bermacam-macam pertanyaan. Lama-lama petugas-petugas itu menyelidikinya dengan pertanyaan psikologis berupa, apakah Na menyayangi adiknya? Apa Na pernah menduga ibunya berlaku tidak adil terhadapnya? Apa yang sekarang Na rasakan ketika adiknya tidak pulang? Beragam kalimat pertanyaan semacam itu terus diulang-ulang, diputar-putar, intinya sama saja, petugas mencurigainya. 

"Kalian memiliki pembantu rumah tangga?" tanya polisi tak berseragam itu lagi.

Untuk ukuran orang berada, Inggrid mempekerjakan orang-orang terpilih soal urusan mengasuh anak-anaknya. Dua pengasuh, satu pembantu rumah tangga, dan satu tukang kebun.

"Mereka jawab apa?" Bu Inggrid sudah spaning di sudut ruangan.

Lihat selengkapnya