Kabar Duka

Maureen Fatma
Chapter #7

Plakat Tahun 1934

Pabrik dan perkebunan teh yang didirikan oleh pengusaha berkebangsaan Belanda pada tahun 1934—sesuai plakat tahun yang tertulis di depan pintu gerbang komplek—sudah melakukan berbagai ritual mistis sejak awal pendiriannya. Melibatkan arahan cenayang desa, pendirinya rajin menebar sajen di titik-titik tertentu sekitar perkebunan dan di antara mesin-mesin pabrik yang ukurannya serba gigantik. Konon karena praktik itu, tentara Nippon yang mulai mengincar Hindia Belanda dibuat seolah buta sehingga mereka tidak menyadari adanya pabrik dan perkebunan teh di sini.

Meskipun berkelakuan di luar nalar, pendirinya dikenal rendah hati, dermawan, ramah, dan filantropis. Dia memperjuangkan sekolah untuk anak-anak pribumi, menjamin mata pencaharian warga lokal, dan memberi mereka penyuluhan tentang bagaimana menanam tanaman holtikultura lain selain teh. Minatnya yang besar pada tradisi dan budaya daerah membuatnya dengan mudah melebur dengan para penduduk setempat sekaligus memenangkan hati mereka.

Di masa pendudukan Jepang, di tengah ancaman perang dunia, industri teh nusantara merosot tajam. Tentara Jepang membongkar beberapa perkebunan dan pabrik teh di pulau-pulau Nusantara. Lahan-lahan dipersempit dan pabrik-pabrik tehnya dialihfungsikan oleh Jepang ke unit usaha lain seperti pabrik tekstil, kertas, hingga arang kayu. Semua itu untuk memasok kebutuhan Jepang selama perang dunia.

Kebijakan rezim Jepang itu otomatis membuat pemasok teh dari Nusantara berkurang drastis. Pabrik dan perkebunan teh Rijckloff bernasib kebalikan karena tidak tersentuh penjajah Jepang, dan justru menanggung lonjakan permintaan dengan sukacita. Memasuki puncak kejayaan pabrik dan perkebunan, ladang diperluas bahkan warga kampung ikut membudidayakan teh di pekarangan atau di kebun-kebun mereka sendiri. Soal hasil kebun, pabrik setuju membelinya. Produksi pabrik meroket fantastis dari tahun ke tahun.

Melewati masa periode kemerdekaan yang alot hingga masa-masa pergolakan mempertahankan kedaulatan NKRI, yang terkenal dengan judul 5 perjanjian bersejarah antara Indonesia dengan Belanda, pabrik dan perkebunan tetap berjaya seakan tak terjamah pemerintah yang berusaha mengakuisisi segala bentuk peninggalan kolonial. Baru pada tahun 1959 sepasang suami-istri Belanda bernama Tuan Bill dan Nyonya Leri Rijckloff memboyong putra dan putri mereka datang ke Indonesia dengan tujuan mengambil alih sepeninggal pemilik pertama. Usut punya usut, pendiri pabrik dan perkebunan yang pertama ternyata punya pertalian darah dengan Nyonya Leri Rijckloff. Namun, yang paling membetot akal ialah suami-istri Belanda itu tak kalah kleniknya dengan pendiri pertama.

Bukan main, Tuan Bill dan Nyonya Leri Rijckloff berani bersekutu dengan iblis. Yah, awal mula dinamika kehororan pabrik dan perkebunan teh ini karena ulah Tuan Bill dan Nyonya Leri Rijckloff berserta sembilan kerabat dekat mereka yang juga orang-orang Netherland. Pada malam-malam tertentu mereka tidak segan-segan melakukan ritual persembahan keji dengan menumbalkan anak-anak warga kampung. 

Semula tak ada yang menyadari tingkah absurd Tuan Bill dan Nyonya Leri Rijckloff. Keduanya membaur dengan baik di tengah negara yang masih kelesah pasca kemerdekaan. Anak-anak yang jasadnya ditemukan di hutan dianggap mati karena serangan hewan buas. Toh, tidak setiap tahun kengerian itu terjadi. Dua puluh tahun berjalan dengan tanpa kecurigaan,  putra dan putri pasangan Belanda itu, yakni Willem Van Rijckloff dan Margareta Van Rijckloff tumbuh dewasa.

Duo Rijckloff bersaudara itu tidak tertarik dengan tradisi keluarga mereka. Willem menentang keras orang tuanya, sedangkan Margareta sedikit lebih lunak daripada Willem. Margareta hampir tidak pernah bertengkar dengan orang tuanya perkara pemujaan kepada iblis. Kedua anak Rijckoff kemudian sama-sama mendirikan sebuah gereja di perkampungan bawah, tepat di samping sekolah Narah. Keduanya rutin datang beribadah bersama warga lainnya.

Tahun-tahun berlalu. Willem akhirnya mempersunting pujaan hatinya, perempuan lokal bernama Inggrid Purwanti. Menilik kehidupan Inggrid, dia bukan dari sembarang kalangan. Bapaknya pejabat pemerintahan yang begitu disegani. Pernikahan Willem dengan Inggrid yang dikatakan pernikahan politik itu sebenarnya tidaklah tepat. Willem murni jatuh hati pada Inggrid dan sudah sejak lama mereka saling menyukai.

Di mata pasangan Rijckloff, selain menilik latar belakang menantunya, Inggrid muda adalah wanita yang bernilai spesial karena memiliki sensitivitas untuk merasakan hal-hal yang berhubungan dengan adikodrati. Menikahkan Willem dengan Inggrid diharapkan menantunya itu dapat meneruskan persembahan keluarga mereka, sementara Willem yang tidak tertarik dengan ritual-ritual aneh keluarganya biarlah fokus pada perusahaan.

Benar saja, awalnya Inggrid sangat patuh dan menghormati mertuanya sebagaimana menantu kebanyakan. Akan tetapi, pada suatu hari nurani Inggrid meronta. Hatinya teriris menyaksikan satu lagi penemuan jasad busuk anak-anak tanpa kepala di hutan. Inggrid tahu sesuatu. Ia akhirnya perlahan-lahan membelot perintah mertuanya. Ia jadi sering mangkir di malam-malam pemujaan. 

Tuan Bill dan Nyonya Leri Rijckloff tidak memikirkan strategi apalagi setelahnya. Kasus anak dibunuh binatang buas terus terjadi meski tak seorang pun pernah melihat binatang buas itu. Warga lalu mencium aroma-aroma tidak beres di malam-malam mencurigakan setiap kali Tuan Bill dan Nyonya Leri Rijckloff mengadakan perjamuan makan malam yang dihadiri orang-orang terdekat mereka. Warga mulai mencari tahu. Dukun-dukun dari wilayah lain didatangkan. Terkuaklah segala kebenaran yang keluarga Rijckloff sembunyikan dibalik keramahtamahan mereka. 

Total puluhan warga desa didampingi dukun-dukun mengadakan ritual balasan dengan tujuan melemahkan makhluk-makhluk gaib yang menjaga pabrik dan perkebunan. Lantas berbondong-bondong mereka mendatangi rumah utama, memergoki sekumpulan orang tengah melakukan ritual menjijikkan. Para warga akhirnya meyakini kebenaran atas kematian anak-anak kecil di kampung mereka disebabkan oleh aksi penumbalan keluarga sinting itu. Bukannya binatang buas. Warga kemudian menggiring semua orang-orang Netherland pada malam panas itu ke sebuah kebun kosong, tidak jauh dari rumah utama. Jerigen-jerigen minyak tanah dijunjung. Api unggun raksasa dikobarkan. Warga membakar peserta sekte hidup-hidup, menyisakan Inggrid dan dua anaknya yang masih kecil.

Mereka tidak tersentuh sebab sekali lagi, keluarga Inggrid bukan dari sembarang kalangan. Beruntungnya hari itu, Margareta sedang pergi berlibur dengan suaminya. Keduanya selamat dan tak pernah kembali kemari semenjak malam panas itu menewaskan orang tua, kakak, dan saudara-saudara lainnya.

Inggrid kala itu tidak berdaya menahan ledakan emosi warga. Pakaiannya kotor karena berkali-kali terjungkal memohon ampun pada warga. Tangisnya adalah tangisan terburuk selama hidupnya. Malam itu benar-benar mimpi buruk baginya. Saat suaminya digiring keluar oleh para warga, ia sudah tak sanggup berdiri. Inggrid terkalahkan oleh massa. Keluarganya yang berpengaruh itu tidak datang satu pun untuk berusaha membantunya menghalau kekacauan.

"Kumohon! Dia jemaat yang taat. Dia membangun gereja untuk kalian."  Sebagai keturunan priyayi, Inggrid tidak pernah memohon sedemikian hinanya.

Plak! Seseorang menampar Inggrid. Beberapa orang terus menendangnya, tapi Inggrid pantang melepas suaminya. Ia memeluk erat sang suami.

"Gereja setan!" tampik orang-orang.

Jika Inggrid tidak segera melepaskan rengkuhannya pada sang suami, warga terpaksa menyeretnya pula, membakarnya dalam kobaran api bersama pelaku-pelaku ritual lainnya.

"Laat ze mij meenemen, Lieve. Je zou gewond kunnen raken. Ik houd van jou," kata Willem. Tampak Willem sudah putus asa dengan nyawanya.

Bapak Inggrid kemudian datang membawa puluhan petugas keamanan. Dia menarik tubuh Inggrid, menyelamatkannya. Inggrid menjerit, meronta dengan wajah lebam. Para petugas keamanan itu tidak berkutik ketika Willem masih saja digelandang warga menuju kobaran api. Petugas-petugas itu malah sibuk mengamankan rumah utama dari aksi penjarahan.

"Di mana cucu-cucuku?" tanya bapaknya Inggrid cemas.

Inggrid tidak memberi tahu. Dia yakin Na dan Sabastian cukup aman bersembunyi di loteng rumah. "Kenapa Bapak diam saja?" Inggrid bertanya dengan suara yang sudah tidak jelas. Bibirnya bengep.

Lihat selengkapnya