Kabar Duka

Maureen Fatma
Chapter #8

Bianglala

Lampu sorot sebuah mobil menyusuri aspal bukit yang berkelok-kelok tajam dengan jurang di sisinya. Adi nampak luwes saat membanting setir. Ia terlatih berkendara di rute ini meski pada malam hari. Trek ini sudah seperti kudapan buatnya, begitupun pegawai pabrik dan perkebunan lain.

Jalan selebar dua badan truk ini berambu dua arah, dan merupakan jalan satu-satunya yang layak dilewati jika tidak berniat menerabas perkebunan. Aspalnya semulus gelanggang ice skating. Adi hanya perlu mengantisipasi kendaraan lain dari tikungan. Lain dengannya, pelancong yang hendak berwisata ke pabrik dan perkebunan memistikkan jalanan ini serupa jalur tengkorak hanya dengan melongok tubir jurang.

Tangga lipat di atas mobil off-road Adi bukan tanpa alasan bertengger di sana. Salah satu lampu jalan yang mati mengungkapkan tabiat lelaki itu. Adi lalu menepikan kendaraannya.

"Sebentar saja." Adi pamit keluar dari mobil tanpa meninggalkan penjelasan pada kawannya yang menunggu sembari mengamati tingkahnya dari kursi samping kemudi.

Adi menurunkan tangga lipat. Bahu dan lengan besarnya menopang tangga lipat itu menuju tiang lampu jalan yang padam. Dia kemudian kembali ke mobil untuk mengambil lampu baru. Ternyata Adi sudah berencana akan mengganti bohlam lampu lama dengan yang baru malam ini. Cepat dan mudah dikerjakannya seorang diri.

Na merasa sulit menyembunyikan sikap respeknya. Tangga lipat pasti berat ketika diangkat naik kembali ke atap mobil, setidaknya bagi Na yang tidak tertarik latihan angkat beban.

"Kau harus menjadi duta karyawan teladan," kelakar Na mengacungkan dua jempolnya keluar dari jendela.

Adi yang tak butuh apresiasi tertawa. Dia kembali mengemudi usai rasa yang mengganjal perasaannya malam ini selesai ia tebas. Lampu jalan itu kemarin sudah Adi beri tanda. Dia tidak betah menunggu sampai teknisi malas membetulkannya.

"Kamu pasti suka kamping, Di?" Sedari tadi rupanya Na mengamati inovasi bagian belakang mobil Adi.

Adi membongkar sebaris bangku belakang mobil off-road miliknya, lantas membuat susunan kompartemen untuk menyimpan berbagai perlengkapan kemah.

"Pas libur, Na. Yah, kalau senggang."

"Ke mana?"                     

"Pantai, hutan, gunung." Tapi hutan bukan tempat favorit Adi. Di hutan gerah, banyak serangga meskipun ia justru memiliki banyak kenangan manis di hutan. Tetap saja, Adi ternyata lebih suka berkemah di pegunungan atau pantai.

"Waw!" Na mengangguk-angguk membayangkan keseruan hari libur lelaki itu, “bersama siapa?”

“Seringnya sendiri.”

“Sendiri?” Na terlihat agak terkejut, “dengan anjing pastinya?”

“Tidak. Aku tidak suka hewan peliharaan. Mereka merepotkan.”

“Tapi anjing bisa menjaga wilayah di sekitar tenda jika kamu mau dan anjing tidak merepotkan, Di. Tergantung ras anjingnya.”

"Aku bisa menjaga diri sendiri. Bagaimana rasanya tinggal di Eropa, Na?" tanya Adi balik.

"Cuacanya sangat menyiksa. Sebulan di sana mungkin menyenangkan, tapi kalau bertahun-tahun rasanya seperti ujian. Untungnya sekarang aku sudah terbiasa."

"Mendengar ceritamu, orang tidak ingin percaya." Adi geleng-geleng. Ia termasuk yang tidak ingin percaya.

Tikungan-tikungan tajam sudah terlewati. Adi mengakselerasikan laju kendaraannya dengan sangat halus sehingga Na merasa nyaman.

"Bagaimana kabar ibumu?" Na melebarkan topik.

Lihat selengkapnya